/1/
Tuan, hari ini aku lihat kau datang. Sama seperti terakhir kita bertemu. Tegap dan gagah, melangkah pasti seolah yang lain hanya hias dan kias. Pun paras yang tak ubah, sisakan letih sisa perjuangan bertahun-tahun di medan penuh keluh, peluh, dan kesah. Ah, betapa rindunya...
Apakabar, Tuan? Sekian warsa lantun tak terdengar, raga jauh merapah hingga pelosok bentala. Adakah kau temukan damai? Terhadap sesiapa yang dulu menyamun semara, menerungku dikara, menggentaskan nyalang di kedua bola mata. Sungguh, mengingat kala itu buatku bersimpuh. Bahwa manusia bak kertau nan durjana, dalam sekali sapuan loka...
/2/
Sekali lagi kita duduk berhadapan. Aku nikmati aksara silih bersahutan di kedua bola matamu. Seolah tak ada hari esok untuk bercerita. Seolah detik ini kan berlalu begitu saja. Aku nikmati prosa yang serabutan meminta tempat, ingin jadi pertama yang kubaca kala sempat. O, Tuan... andai kau tahu. Masih pada bidang dadamu kuingin rebahkan seluruh penat pun harap. Menganyam dengan tenang diksi yang bertebaran menjadi setubuh puisi, pengantar lelapmu kala pegam. Pada keningmu, kelak aku ucapkan selamat memejam.
Diam-diam lunar mengintip di balik tawang. Menebak apa yang saling kita utarakan. Kemudian menghitung detik, pada detak keberapa lakon buyar dalam pelukan. Seluruhnya hilang menjadi kesatuan. Hari ini, rindu-rindu berpulang...
/3/
Mari, Tuan, kita rayakan hari ini. Bukan, bukan tentang pertemuan. Mari kita rayakan kehilangan. Ia sebentar lagi datang. Membawamu jauh sekali. Memperlatakan aku sendiri... Mari kita rayakan, Tuan! Sebelum cangkir imajinasiku kosong, disesap waktu yang terburu-buru. Kau tahu? Hanya pada kita, ia bahkan tak sudi mengeja rindu.
Melangkah gontai, nanar matanya meloka bumantara.
Tak peduli hangat arunika manjakan jiwa.Â
Ia sudah lama mati!
Bagai kunarpa yang atmanya merapah entah.
Pikirnya tak bernalar, pilar jemalanya runtuh digentas kala...
Hei, Tuan! Kaukah yang berkalam pangkal? Â Â Â
- Jakarta, 15 September 2019 -