Mohon tunggu...
Applaus Romanus
Applaus Romanus Mohon Tunggu... business development -

Tidak ada yang special dengan saya. Saya hanya ingin menikmati setiap detik dari kehidupan ini dan menjadi berguna untuk orang lain. http://applausr.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Tukang Sandal

16 Oktober 2010   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin malam saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya. Tentunya kesempatan ini tidak saya sia siakan, saya manfaatkan waktu yang ada untuk mencari makan dan menikmati suasana malam di Benton Junction Lippo Village.

Lama berkeliling memilih restauran yang ada disana akhirnya saya memutuskan untuk makan gado gado di Warung Betawi . Saya memilih duduk di kursi yang berada diluar restauran tersebut. Menurut saya makan di Benton Junction memang lebih enak jika kita memilih duduk di kursi luar restauran yang ditata sedemikian rupa menghadap jalan sehingga kita bisa menikmati suasana malam kota ciptaan Lippo Group ini dengan lebih baik. Selain itu kita bisa menikmati udara malam yang segar tentunya sambil cuci mata melihat orang yang lalu lalang memilih restauran yang akan dikunjunginya.

Saya sangat merekomendasikan Benton Junction Lippo Village sebagai alterntif tempat untuk wisata kuliner dan menikmati suasana baru dan berbeda dengan tempat tempat serupa yang ditawarkan di Jakarta.

Tapi apa yang hubungannya Benton Junction dengan judul tulisan ini.

Sambil menunggu makanan datang, tiba tiba hadir seorang tamu tak diundang membawa tas besar dan sejumlah sandal jepit kulit di tangannya. Ia mendekat dan berdiri dihadapan saya. Dengan mudah tentunya bagi saya untuk menebak kalimat berikut yang akan meluncur dari mulutnya setelah ucapan “selamat malam” darinya. Kalimat seperti “Pak mau beli sandal atau tidak?” ,“Paksaya mau menawarkan sandal” atau kalimat sejenis lainnya dapat dipastikan akan diucapkan olehnya. Dan tentunya otak saya dengan cepat sudah mempersiapkan jawaban pamungkas sebelum ia melanjutkan penjelasan mengenai sandalnya misalnya seperti “maaf mas saya lagi tidak butuh sandal” atau kalimat serupa agar membuat dirinya cepat menghilang dari padangan.

Tapi ternyata semua dugaan mengenai kalimat pertama yang diucapkan penjaja sendal jepit diluar perkiraan saya tadi. Ia memulai dengan kalimat kurang lebih seperti ini:

Tukang sandal : (dalam logat sunda dan muka memelas) Pak, saya mau minta tolong bangettttttt. Saya mau pulang ke pelabuhan ratu tapi tidak ada ongkos. Saya kemarin hanya menjual satu pasang sendal dan dari tadi pagi hanya terjual satu pasang juga. Saya benar benar butuh ongkos untuk pulang pak.!!

Saya terdiam bengong dan sedikit tidak percaya dengan kata kata yang keluar dari mulutnya.

Belum sempat saya bangun dari kaget saya, la pun melanjutkan kalimatnya dengan lebih menyakinkan.

Tukang sandal: (dalam logat sunda, suara dan mukamakin memelas) Demi Allah pak, kalau seandainya Bapak mau membeli sandal saya hari ini. Saya akan doakan Bapak sehat, banyak rezeki dan sukses selalu. Demi Allah juga pak, kalau bapak main ke pelabuhan ratu dan kita ketemu lagi disana. Saya akan jamu bapak di rumah dengan sekuat tenaga walaupun itu apa adanya.

Dia mengulang kalimat itu berkali-kali dengan suara makin memelas dan berlutut dengan di hadapan saya.

Saya benar benar tidak bisa berkata apa apa dan mulai berpikir sambil bertanya dalam hati. Ini beneran apa tidak ya? Mau tidak percaya kok kayaknya jahat amat saya ini. Tapi kalau percaya kok rasanya ada yang aneh. Maka saya putuskan untuk bertanya kepadanya.

Saya : Nah kemarin sama siapa ke Jakarta? Dan kenapa sekarang mau pulang ke Pelabuhan ratu?

Tukang Sandal : (dalam logat sunda dan masih juga memelas) Saya sebenarnya dulu bertani di kampung pak? Tapi di kampung susah pak. Saya kesini dengan teman saya tapi setelah di Jakarta malah saya di tinggal sama dia Pak. Sekarang saya mau pulang karena ternyata di Jakarta susah cari uang. Saya mau pulang dan bertani lagi saja.

Saya benar benar tidak bisa bicara lagi.Saya sudah dikondisikan berada disebuah persimpangan antara mau menolong atau tidak? Antara percaya atau tidak?

Akhirnya saya memutuskan untuk menolongnya dan membeli satu buah sandal seharga Rp 45.000.

Setelah saya memberikan uang dan mengambil sandal tersebut, ternyata ia menepati janjinya untuk mendoakan saya supaya tetap sehat dan banyak rezeki Amin.

Makanan pun datang akhirnya Tukang sandalpun meninggalkan saya sendiri.

Dibenak saya terpikir bahwa mungkin saya baru saja tertipu oleh Tukang Sandal itu. Tapi bukan itu masalahnya seandainya tertipupun tidak apa apa, karena saya memang sudah memutuskan untuk menolong dirinya dan saya ikhlas.

Yang ada dibenak saya adalah beginilah kalau datang ke Jakarta tanpa keterampilan untuk mengadu nasib. Jualan pun sudah seperti mengemis saja. Segala cara di tempuh demi untuk mendapatkan uang.Sudah sampai segitu tidak bersahabatkah Jakarta sehingga berjualan sandal saja mesti mengemis seperti itu.

Mungkin kejadian ini bisa dijadikan bahan renungan untuk kita semua. Apa yang bisa kita perbuat untuk negeri ini, sehingga tingkah merendahkan diri seperti ini bisa dihindari di kemudian hari apalagi hanya untuk mencari uang.

www.applausr.net


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun