Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jambi, kotaku kini

16 Juli 2015   08:03 Diperbarui: 16 Juli 2015   08:03 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Narsis bahagia. Selamat sampai tujuan"][/caption]

 

Saya meninggalkan Jakarta pagi jam 6.30, Kamis 2 Juli 2015. Pesawat Sriwijaya yang hendak saya tumpangi diganti menjadi NAM AIR. Saya berdua dengan teman saya, Lilis yang akan mengantar dan melihat lihat rumah baru saya 2 tahun ke depan.

Debar jantung dan kegelisahan menganga dalam hati saya tak bisa reda walau ditemani oleh Croissant nya Mbak Winda. Resah, karena sehari sebelum berangkat sempat berselisih dengan orang terdekat. Khawatir terjadi sesuatu dengan pesawat. Berdebar-debar, bisakah saya betah di kota baru ini.

Terngiang selalu pertanyaan mbak Klara dan Uda Isson berkali kali tiap bertemu setelah kedua teman ini tahu saya mau ke Jambi. "Jadi berangkat?"

Belum komentar komentar miring yang sebenarnya bukan saya takut, tapi tetap saja hati ini khawatir.

1. Panas

Saya pernah tinggal di Batam yang juga panas. Tetapi, fasilitas rumah bersama yang disediakan sekolah ber AC dan antar jemput juga ber AC. Walaupun tak urung saya sempat pingsan waktu mendampingi siswa upacara hari pahlawan. Saya tidak cemas dengan fasilitas sekolahnya. Tapi asrama, itu yg saya khawatirkan. Kalau asramanya panas bagaimana? Sekamar dengan siapa? Apakah dia bisa menerima saya yang suka ngorok, rambutnya suka rontok, dan cueknya lebih dari 10 bebek disatuin? Adalah tambahan lain dari panasnya cuaca.

2. Medis

Isu serius yang saya bahas dengan management sekolah adalah fasilitas kesehatan. BPJS disediakan sekolah seperti apa? Dalam post saya terdahulu sempat saya kisahkan akhir dari masalah yang ini.

DAN

selama dalam pesawat doa saya begini

1. Tuhan, kiranya pesawat ini mendarat dengan selamat.

2. Tuhan, tolong saya supaya bermanfaat bagi penduduk di Jambi. Tolong saya mencintai kota ini seperti TUHAN mencintai kota ini.

AKHIRNYA

pesawat mendarat dengan selamat. Saya turun dari pesawat berjalan beberapa langkah dan berlutut sambil menyentuh tanah Jambi ini. Trima kasih TUHAN doa saya pertama terjadi. Selamat.

Saya berdoa lagi, dalam sunyi mengulangi doa kedua. Kemudian narsis di depan pesawat kami.

Saya dijemput mobil sekolah dan kemudian menuju asrama guru. Waktu sampai saya disambut oleh GA sekolah dan ditunjukkan kamar yang akan menjadi homebase selama di Jambi.

Ternyata menyenangkan. Kamarnya standar hotel Amaris dengan twin bed. Jadi seperti kalipun berbagi, kami punya privasi.

Lega.

Setelah unpacking, saya segera mengikuti HRD untuk survey singkat sekolah. Intinya, kelihatannya sangat saya akan bekerja dengan nyaman di sini. Sekolah ini adalah 1 dari 2 sekolah berwawasan nasional plus. Sekolah lainnya adalah Stella Maris. Gedung sekolahnya, tidak seperti yang saya harapkan bukan memanjang tetapi bertingkat dan yah sekali lagi, tangga akan menjadi bagian rutin saya di sini. Padahal impian saya kemarin adalah tidak ketemu tangga lagi.

OKE.

Urusan dengan tempat kerja selesai. Saya tidak bisa menginapkan bu Lilis teman saya yang sudah seperti saudara ini di asrama, jadi saya sudah memesan lewat TRAVELOKA, satu kamar di hotel J8. Hotel tersebut ada di kawasan Talang Banjar, Jambi Timur.

Karena buta Jambi, saya bersyukur sekali mobil sekolah diizinkan mengantarkan saya. Jadi kami menginap di hotel J8.

Hotel ini sangat kecil. Sempit juga kamarnya. Tetapi jika kita hanya ingin tidur cukuplah. Sayangnya kamar yang saya pilih ekonomi, harga 95 rb terletak di lantai 3. Jadi, yah olahraga lah saya. Pemesanan kamar lewat Traveloka ini bisa saya sarankan bagi teman teman yang tidak punya gambaran mengenai kota yang didatangi.

Hotel ini tidak menyediakan sarapan. Namun air dalam botol 330 ml, tersedia di kamar saat kami check in, berikut handuk dan 2 sabun hotel mungil. Air minum bisa diambil di lantai 2, dalam dispenser panas dan biasa jika diperlukan. AC juga cukup dingin. Sayangnya untuk shalat, bu Lilis harus menggunakan ruangan terbuka di tengah lantai 3, karena sempitnya kamar. Kalau sendirian, bisa saja menggunakan tempat tidur untuk sholat. Yang terakhir ini dipilih bu Lilis, walau tidak sendirian dengan meminta saya agar minggir, sebab shalat di ruang tengah terlalu sepi malam itu.

Sorenya kami melakukan perjalanan pertama menyusuri Jambi. Dengan ojek kami bergantian menuju pempek Asiong, yang katanya adalah pempek terenak di Jambi. Saya yang pertama diangkut. Jadi saya sempat melihat-lihat sekeliling pempek Asiong itu. Ada beberapa merek lain di sekitarnya. Pempek Selamet, Pempek Sumsel, dan sejumlah nama lain yang tidak saya hafal. Ojeknya 10 rb sekali jalan.[caption caption="Ini Pempek dan sausnya, sama bu Lilis"]

[/caption]

Saya sudah sangat lapar sebenarnya, sehingga agak susah menahan diri saat pempek disajikan. Untuk saya ada beberapa jenis pempek yang baru saya lihat saat itu.

1. pempek panggang, bentuknya bulat, dipanggang seperti otak-otak, tetapi tidak dibungkus daun. Agak alot menurut saya. Saus pempeknya lumayan, walaupun menurut bu Lilis, setelah berbuka, menyebutnya tidak istimewa.

2. pempek keriting. Seperti mie, berbentuk bulat, pempek ini dimakan begitu saja, karena direbus tampaknya. Saya dan bu Lilis sempat memintanya digoreng.

3. pempek kulit. Saya tidak berani mencobanya. Penampilannya? Fotonya terbalik. Maaf belum bisa merapikannya.

Setelah mencoba pempek Asiong, kami mencoba menggunakan taxi di Jambi. 

Ya, di Jambi ada taxi juga. Berargometer. Tarif buka pintunya Rp. 7000. Ternyata dari Pempek Asiong menuju hotel kami di J8, argometer hanya bergerak sangat sedikit, hanya Rp. 8800. Karena saya dan bu Lilis memesan menggunakan telepon, kami membayar tarif minimum yaitu 25 rb. (Jadi ingat grab taxi kalau begini. Coba nge-Grab gratis kan? hahahahahaha)

Yah, itulah hari pertama di Jambi. Supaya lebih afdol saya akan melengkapinya sampai 24 jam pertama, oke?

Sebagaimana saya ceritakan di awal, hotel kami tidak menyediakan sarapan, sehingga, saya memikirkan sahur untuk bu Lilis. Jam 2.30 saya terbangun dan membangunkan bu Lilis untuk sahur. Kami turun ke lantai 1. Ada penjaga malam di meja resepsionis. Uda yang manis ini juga tengah bersiap sahur, saat kami minta bantuannya membelikan sahur.

Jadi, walaupun tidak menyediakan sarapan, karyawan hotel ini sangat kooperatif memenuhi permintaan tamu. Bu Lilis memberikan tips yang sempat ditolak. Namun, bu Lilis pantang ditolak. Pengganti bensin katanya, dan Uda Erik menerima akhirnya.

[caption caption="Uda Erik dan saya. Trimakasih sahur barengnya ya."]

[/caption]Uda ini, saya susah mau hafalin lengkapnya. Dia lagi kuliah S2. Tapi, dia jaga malam di motel saya menginap 2-4 Juli. Dia bekerja di 2 tempat. Ia ramah dan juga senang bercerita. Ia pernah menjadi guru honorer di salah satu sekolah menengah di Jambi. Ia menunjukkan kelasnya memberi serve pada kami dengan baik. Jadi melayani dengan baik, melakukan yang terbaik adalah kelas seorang well educated. Kalau berpendidikan tapi tidak bisa melayani atau hanya asal dalam bekerja, yah... kelas kita hanya sedemikian. Trimakasih pelayanannya uda Erik...

Kami mengobrol sambil sahur bersama. Saya sendiri sepakat untuk memperpanjang tinggal di hotel J8 dengan pemesanan melalui TRAVELOKA 2 hari berikutnya. Bagaimanapun memastikan tempat tinggal selama di luar asrama adalah prioritas saya sebagai warga baru di sekolah tersebut. Kali ini kamar yang saya pilih adalah kamar standart yang ada di lantai 1 juga. Harganya 131 rb per malam. Perbedaan kamar ekonomi dan standar selain hal lantainya adalah fasilitas televisi dalam kamar. Kalau untuk saya sih, yang penting tidak naik tangga. 

Kesan saya 24 jam pertama di Jambi?

1. Penduduknya ramah. Mereka suka mengobrol dan tidak keberatan ditanya apapun tentang kotanya.

2. Kota ini setara dengan kota kabupaten di Jawa. Kata bu Lilis seperti di Cianjur. Terbayangkah? Suasananya sunyi setelah pukul 8 malam. Kata saya seperti kota kecil saya di Madura, Pamekasan. Sepi, dan nyaman jika kita tak suka keramaian.

3. Makanannya sesuai dengan lidah saya. Walaupun sempat bertanya tanya kenapa ya beli makanan selalu nasinya banyak sekali. Kata pak Thamrin Dahlan, warga asli Jambi, penanda kemakmuran Jambi.

Well, lets see. Ini cerita saya, 24 jam pertama di Jambi.

Salam hangat dari Jambi,

 

 

Maria Margaretha

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun