Saya mendaftar BPJS 25 Agustus 2014 melalui internet. Ternyata saya baru tahu bahwa harus langsung dibayar iuran pertamanya agar bisa memperoleh E-Id. Karena sudah terlewat 24 jam bahkan akhirnya lewat 1 bulan, saya harus mencetak kartu BPJS di kantornya dengan membawa bukti pembayaran premi.
Menggunakan BPJS, saya bisa melakukan berobat jalan di klinik yang saya pilih untuk dokter umum. Saya memilih klinik dan bukan puskesmas, karena dekat saya puskesmasnya bukan 24 jam dan juga beberapa kali pada hari Sabtu saya mengunjungi Puskesmas yang ada adalah bidan, atau malah perawatnya. Bukan dokter. Perkecualian hal ini terjadi waktu ada seorang dokter wanita yang setia datang di akhir pekan. (dokter itu sudah pindah ke Palangkaraya kalau tidak keliru awal November 2014) Di Klinik, yang menangani selalu dokter.
Dalam kunjungan saya di klinik, boleh dikatakan saya puas. Pelayanannya memadai. Hanya, kesulitannya saat ini, sebagai penderita autoimun, saya kadangkala mengalami symptom yang perlu dirujuk ke dokter RS. Awalnya, jika perlu ke RS saya biasa memilih menggunakan biaya sendiri di RS Carolus, yang memang menjadi tempat saya berobat rutin. Sejak menggunakan BPJS, saya menanyakan kemungkinan rujukan ke Carolus pada dokter (awalnya puskesmas kemudian di klinik) Bagian klinik menyetujui mengirimkan saya ke Carolus.
Suatu sore, di antara kepadatan jadwal mengajar privat, saya mengunjungi RS Carolus. Ternyata, petugas di RS Carolus menyambut dengan baik. Saya diberi informasi detail penggunaan rujukan BPJS. Rujukan yang diterima di Carolus, adalah rujukan yang tidak bercoretan, atau tipp ex, dan dicopy 3 kali masing-masing dengan copy kartu BPJS dan KTP.
Sampai di sini, saya mulai merasa mulas juga. Mengapa harus menggunakan fotokopi sebanyak itu? Fotocopynya saja asumsi perlembar Rp. 200,- itu sudah hampir Rp. 2000,-?
Tanpa bermaksud menyalahkan pemberi penjelasan di RS tentunya, saya merasa bahwa ini tidak semudah yang dibayangkan. Kebetulan surat rujukan saya saat itu bercoretan perbaikan dari si dokter. Maka, saya kembali ke klinik faskes pertama. Kali ini saya mendapatkan rujukan yang bersih dan sekali lagi saya fotocopy 3 kali, KTP dan kartu BPJS copynya tidak perlu diganti lagi. Masalah muncul, karena sampai 2 minggu kemudian saya tak punya kesempatan ke RS Carolus lagi, dan kesempatan baru muncul, saat akhirnya saya perlu di rawat inap.
Kepada petugas pendaftar rawat inap, saya beritahukan bahwa saya pasien BPJS. Saya menunjukkan surat rujukan. Petugas itu kemudian menerangkan, bahwa pasien BPJS di RS Carolus adalah pasien yang ditangani berdasarkan kuota. Malam itu kuotanya sudah penuh. Kelas 1,2, dan 3. Karena keadaan darurat, saya menyetujui dirawat sebagai pasien umum, dengan ketentuan, tidak bisa pindah ke BPJS jikapun ada pasien BPJS yang pulang, selama dirawat.
Saya menggunakan kesempatan tersebut untuk mewawancarai petugas itu, prosedur lebih lanjut. Petugasnya juga mengatakan rujukan saya itu tak bisa digunakan lagi, karena kadaluarsa. Ia terheran-heran karena saya dengan kaki bengkak bisa bertahan 2 minggu lebih dan setelah 2 minggu baru ke RS. Sendirian pula.
Ia menjelaskan bahwa menggunakan rujukan BPJS di RS CArolus hanya bisa di spesialis biasa, dan sifatnya hanya konsul dan obat. Sementara jika dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium, itu tidak ditanggung (BPJSnya tidak bisa digunakan untuk laborat). Artinya jika saya ingin periksa pada dokter subspesialis yang profesor juga tidak bisa. Padahal, lucunya buat saya, di RS Carolus, tarif konsul dokter spesialis biasa dan sub spesialis pasien umum itu sebenarnya sama saja. Tidak berbeda, sama sama kisaran Rp 225.000. Kebetulan dokter saya memang yang profesor, dan tidak setiap hari praktek di RS Carolus.
Akhirnya, malam itu saya dirawat di RS Carolus sebagai pasien umum kelas 2. Beberapa hari sesudah dirawat saya mengajukan reimbursement ke asuransi individual yang kebetulan saya sudah punya sebelum BPJS.
Beberapa hari kemudian, saya kembali ke klinik faskes 1. Saya menceritakan hal-hal yang saya dengar dari petugas RS Carolus dan meminta advice dokter tersebut. Dokter memberikan saran untuk mencoba menggunakan layanan faskes 2 dari RS Pelni, yang disebutnya sebagai RS milik BUMN, diharapkan dipermudah, katanya. BUMN kan, dan saya menyetujui. Sayangnya, sampai hari ini, tulisan ini saya tayangkan, saya belum sempat menggunakan rujukan yang diberikan. Rencananya, saya akan ke RS Pelni besok. Jadi To be Continued yaaaaa.....
Salam Edukasi
Maria Margaretha
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI