Sabtu terakhir di tahun itu, mendung tampak mulai berarak, seolah hendak menutupi wajah mentari. Rianti merasa berat hendak meninggalkan rumah. Banjir beberapa waktu lalu membuatnya berpikir ulang jika harus membawa motor kesayangannya.
Demi memenuhi kewajiban, ia memutuskan berangkat ke kantor naik angkutan kota. Banyak tugas yang harus diselesaikan berkaitan akhir bulan sekaligus akhir tahun. Hanya satu yang ada di pikirannya, sampai di kantor tidak kehujanan dan terjebak banjir.
Saat turun dari angkot, ia heran melihat suasana kantor yang lengang. Diingatnya tanggal dan hari itu, tak ada pengumuman libur atau pengunduran jam kerja karena Pak Hadi berjanji akan membagikan insentif akhir tahun.
Hal ini menyurutkan semangatnya mengakhiri tugas hari itu. Laporan pertanggungjawaban yang harus diselesaikan dan beberapa tugas lain sudah menantinya. Belum lagi harus ke bank untuk mencairkan sejumlah dana, lalu membagikannya kepada karyawan lain.
"Selamat pagi, Rianti!" sapa Pak Hadi mengejutkan.
"Selamat ... pagi. Maaf, kok, Bapak tiba-tiba sudah di sini? Saya nggak lihat Bapak masuk," tanya Rianti dengan gugup.
Pak Hadi adalah bos muda yang baru dipindah ke kantor Rianti. Pembawaannya yang santai membuat semua karyawan menjadi akrab dengannya. Ia memang tidak ingin membatasi diri dengan karyawan, tetapi sopan santun harus tetap dijaga.
"Kamu melamun aja, sih. Mana tahu saya lewat," sindir Pak Hadi. "Eh, nanti kalo ke bank saya antar, ya. Sekalian saya juga mau urus ATM yang diblokir."
"Oh, Bapak ke bank juga? E ... em ... gimana kalo saya yang nitip. Bapak yang ambil uangnya nanti saya yang menyiapkan perinciannya biar bisa segera dibagi," usul Rianti.
"Kamu tega, ya, sama bosnya bilang gitu," ucap Pak Hadi sambil melirik dan memainkan alis matanya. "Tapi saya suka punya staf seperti kamu, cerdas."
"Ya ... maaf, Pak. Kerjaan saya banyak. Kalo Bapak bisa membantu kan berarti meringankan beban saya." Gantian, Rianti yang tersenyum menggoda.