Penulis:
Afifah Liana, Anyndia Putri Dwi Candra Ningtyas, Happy Indra Pratiwi
Program Magister Kajian Wanita (PMKW), Sekolah Pascasarjana, Universitas Brawijaya
Apakah kemenangan seorang kandidat perempuan minoritas selalu menjadi tanda kemajuan representasi politik? Ataukah, justru memperlihatkan bagaimana kekuasaan beradaptasi terhadap tuntutan inklusivitas tanpa benar-benar mendistribusikan ruang yang setara?
Sherly Tjoanda, Gubernur perempuan pertama dalam sejarah politik Maluku Utara. Lahir di Kota Ambon, 8 Agustus 1982, ia adalah pemimpin perempuan Tionghoa yang meniti karier di ranah pelayanan publik. Ia aktif sebagai Ketua Yayasan Bela Peduli, yang bergerak dalam pemberian bantuan bagi anak yatim dan masyarakat kurang mampu serta merupakan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Maluku Utara, yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian dan kesejahteraan petani.
Konteks Hegemoni Berlapis
Di tengah sorotan publik dan riuhnya perdebatan tentang peran perempuan dalam politik, nama Sherly Tjoanda mencuat sebagai fenomena sekaligus paradoks. Ketika ia resmi menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara, banyak pihak menyebutnya sebagai tonggak sejarah—seorang perempuan Tionghoa pertama yang berhasil menembus dominasi kepemimpinan laki-laki Muslim di wilayah timur Indonesia. Namun, pertanyaan krusial segera muncul: Apakah kepemimpinannya mampu melampaui sekadar nilai simbolik representasi?
Sistem patriarkal dalam politik Indonesia adalah pola kekuasaan dan struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas, pengambil keputusan, dan simbol kepemimpinan. Sementara perempuan sering kali diposisikan sebagai pelengkap atau pendukung. Dalam konteks politik, sistem ini tercermin dari minimnya representasi perempuan di jabatan strategis, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, meskipun Indonesia telah menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik dan pencalonan legislatif.
Budaya patriarkal Indonesia tumbuh dari nilai-nilai tradisional dan sistem sosial yang menekankan peran publik bagi laki-laki dan peran domestik bagi perempuan. Akibatnya, politik sering dianggap sebagai “wilayah keras” yang lebih cocok bagi laki-laki karena dikaitkan dengan kekuasaan, kompetisi, dan rasionalitas, sifat-sifat yang secara sosial dilekatkan pada maskulinitas. Sementara itu, perempuan sering kali dihadapkan pada stereotip bahwa mereka kurang tegas, emosional, atau tidak mampu menghadapi tekanan politik.
Budaya patriarki dan kondisi Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seolah menguatkan keterhubungan di antara keduanya, dimana simbol-simbol Islam justru hadir lebih menonjol, salah satunya adalah tentang figur pemimpin laki-laki. Islam, sebagai agama mayoritas, tidak hanya hadir dalam bentuk ajaran spiritual, tetapi juga membentuk struktur makna sosial dan politik yang memengaruhi persepsi terhadap siapa yang dianggap pantas memimpin. Dalam ruang publik, kesalehan religius sering dijadikan ukuran moralitas dan legitimasi kekuasaan, sementara tafsir patriarkal terhadap ajaran Islam memperkuat pandangan bahwa laki-laki adalah pemimpin “alamiah” baik di rumah tangga maupun dalam masyarakat. Maka, kepemimpinan sering diasosiasikan dengan otoritas, rasionalitas, dan kekuatan fisik, atribut yang dilekatkan pada laki-laki dalam kerangka patriarki.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, masuknya semua kelompok etnik dan budaya dalam proses politik sangat penting untuk pembangunan dan stabilitas suatu bangsa. Meskipun merupakan kelompok minoritas yang signifikan, etnik Tionghoa di Indonesia relatif kurang terwakili dalam institusi politik (Susanto, 2023). Adanya perbedaan agama, etnis, dan budaya mereka, menjadikan mereka memiliki sejarah perjalanan yang cukup panjang dalam hal menerima diskriminasi, marginalisasi, hingga penganiayaan. Perbedaan ini telah membentuk mereka sebagai kelompok dengan identitas sosial yang rawan akan intoleransi, kekerasan, dan pertentangan antar kelompok yang berbeda, sehingga mengarahkan pada munculnya pendapat masyarakat bahwa individu yang tidak sama identitasnya maka tak pantas untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan Sherly Tjoanda di Maluku Utara bergerak pada persilangan tiga arus hegemoni yang saling bertaut. Pertama, budaya patriarkal yang masih kukuh menempatkan laki-laki sebagai figur otoritas alamiah. Kedua, dominasi simbolik kultural keislaman yang membentuk standar kepantasan dan legitimasi moral di ruang publik—di mana tafsir konservatif kerap memperkuat narasi bahwa kepemimpinan adalah domain maskulin. Ketiga, posisi historis etnis Tionghoa yang terus dibayangi stereotip, jarak sosial, bahkan trauma diskriminasi masa lalu.
Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan “uji berlapis” yang harus dihadapi Gubernur Maluku Utara tersebut. Ia dituntut dituntut membuktikan kapasitas teknokratis sekaligus menampilkan etos kepemimpinan yang resonan secara religius—amanah, adil, dan berorientasi pada kemaslahatan umum. Disisi lain, ia juga harus meruntuhkan prasangka etnis melalui transparansi kebijakan, pelayanan yang inklusif, dan koalisi lintas komunitas.
Dinamika Kekuasaan dan Legitimasi
Sherly Tjoanda, perempuan Tionghoa Kristen yang kerap dilabeli triple minority, berhasil menembus panggung kekuasaan tertinggi daerah di Maluku Utara. Kemenangannya menantang logika mayoritarianisme yang lazim mendominasi politik elektoral di Indonesia. Identitas gender, etnis, dan agama yang biasanya berfungsi sebagai liability politik justru diartikulasikan sebagai modal legitimasi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah legitimasinya bersumber dari kapasitas individu, kekuatan finansial, ataukah hasil strategi continuity branding yang diasosiasikan dengan identitas mendiang suaminya, Benny Laos?
Representasi Minoritas dan Strategi Continuity Branding
Dalam kerangka teori dinasti politik, kandidat yang memiliki afiliasi keluarga memperoleh keuntungan legitimasi karena diasosiasikan dengan kesinambungan program (Ulla et al., 2024). Strategi continuity branding Sherly terlihat jelas ketika ia memposisikan diri sebagai penerus warisan politik mendiang suaminya, terutama pada sektor kesehatan dan pendidikan (Popmama, 2025). Namun, keberhasilannya tidak dapat direduksi semata pada kapital politik keluarga. Latar belakang pendidikan internasional, kiprah sosial melalui Yayasan Bela Peduli dan DPD HKTI Maluku Utara, serta reformasi birokrasi lewat uji kompetensi ASN menunjukkan kapasitas administratif yang nyata (Ensiklopedia STEKOM, 2025; Serambi Timur, 2025). Dengan demikian, Sherly membangun legitimasi alternatif melalui kombinasi antara modal kompetensi, sumber daya finansial, dan narasi keberlanjutan.
Konteks demografi memperkuat kompleksitas kasus ini. Dengan 75,7% penduduk Maluku Utara beragama Islam (Databoks, 2025), preferensi politik seharusnya mengikuti garis mayoritarian. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pascakonflik 1999–2002, pemilih Muslim semakin pragmatis dengan mempertimbangkan rekonsiliasi, pelayanan publik, dan kapabilitas kandidat dibanding sekadar identitas agama (Deni, 2025). Di sisi lain, representasi minoritas dapat berfungsi sebagai simbol perubahan dan rekonsiliasi bila dikombinasikan dengan janji konkret (Mulawarman et al., 2025).
Kemenangan Sherly dapat dibaca sebagai kasus di mana continuity branding berpadu dengan legitimasi alternatif dan simbol rekonsiliasi minoritas. Alih-alih terjebak pada label “politik dinasti” dan “triple minority”, Sherly memperlihatkan bagaimana interseksi identitas yang rentan dapat ditransformasikan menjadi modal elektoral yang efektif. Implikasinya, fenomena ini menantang pemahaman klasik tentang demokrasi lokal: politik elektoral di Indonesia tidak semata dikendalikan oleh aritmetika mayoritas, tetapi juga oleh kemampuan kandidat memaknai kerentanan sebagai sumber daya simbolik sekaligus instrumen konsolidasi politik.
Praktik Kepemimpinan Inklusif
Kemenangan Sherly Tjoanda sebagai triple minority menunjukkan bahwa toleransi tetap menjadi kekuatan di Maluku Utara. Identitasnya yang menjadi minoritas baik dari segi agama, suku, maupun gender dalam hal kepemimpinan bukan lagi menjadi persoalan bagi masyarakat Maluku Utara. Hal ini membuktikan kedewasaan masyarakat dalam memilih pemimpin tanpa ada unsur bias.
Kunci keberhasilan sang gubernur dalam mendobrak beban triple minority adalah menerapkan strategi politik yang sophisticated (Nawang, 2025). Strategi tersebut ialah dengan mempraktikkan gaya kepemimpinan yang pasti tanpa bermodalkan narasi kisah menyedihkan di hidupnya (Nawang, 2025). Kemampuannya dalam berkomunikasi dan membangun kepercayaan lintas segmen masyarakat mampu menjadi kunci diplomasi kulturalnya.
Berbeda dengan anggapan umum bahwa kepemimpinan harus diiringi emosi yang tinggi, pemimpin justru menunjukkan pendekatan yang berbeda. Wanita kelahiran Ambon ini memiliki gaya kepemimpinan yang mengedepankan empati, komunikasi terbuka, dan kejelasan arah tanpa harus dibarengi dengan emosi yang berlebihan (Rossa, 2025). Selain itu, ia berhasil menjadi pemimpin yang tegas dan konsisten. Gaya kepemimpinan ini memperlihatkan bahwa walaupun menjadi pemimpin perempuan, ia mampu memiliki kekuatan yang tidak selalu terlihat dominan, tetapi cukup dengan konsistensi pada nilai (Rossa, 2025). Hal ini yang menjadi pondasi Sherly Tjoanda sebagai pemimpin untuk mencapai keberhasilan baik untuk kepercayaan publik, kebijakan, hingga program.
Meski berstatus minoritas, ia justru sangat terbuka terhadap keberagaman. Hal ini dibuktikan dengan Sherly Tjoanda yang menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Kota Ternate pada 25 Agustus 2025 (Rois, 2025).
“Saya tidak merasa sebagai minoritas, tetapi sebagai Merah Putih, sebagai bagian dari keluarga besar KAHMI,” —via Jatimupdate.id
Meskipun secara sosiologis berada dalam posisi triple minority, Sherly Tjoanda dengan lantang menyebutkan bahwa ia bukan minoritas, tetapi bagian dari Merah Putih dan termasuk keluarga besar KAHMI. Keterlibatannya memperlihatkan bahwa ia berhasil membangun persatuan tanpa menghilangkan identitas diri. Sherly Tjoanda membuktikan bahwa kepemimpinan inklusif dapat dibangun dengan menghormati keberagaman sambil menciptakan visi bersama untuk kemajuan daerah, tanpa memaksa penyeragaman identitas.
Transformasi Diskursus Kepemimpinan
Sherly Tjoanda membuktikan bahwa dedikasi yang melampaui batasan latar belakang, menjadi simbol harapan dan inspirasi sebagai gubernur pertama dari kalangan minoritas dan perempuan di Maluku Utara. Kepemimpinannya menandai era baru dalam politik Indonesia yang melampaui stereotip konvensional tentang siapa yang layak sebagai pemimpin. Selama ini, “pemimpin ideal” Indonesia sering diidentikkan dengan figur laki-laki dari kelompok mayoritas. Kemenangan Sherly Tjoanda sebagai triple minority—perempuan, Kristen Protestan, dan Tionghoa—mengundang decak kagum. Ia membuktikan bahwa kepemimpinan efektif tidak ditentukan oleh identitas primordial, melainkan kompetensi, empati, dan visi yang jelas.
Identitas Sherly Tjoanda sebagai perempuan keturunan Tionghoa beragama Kristen tidak menjadi halangan untuk menang di wilayah yang mayoritas memiliki penduduk beragama Islam. Keberhasilannya memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia mampu memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, bukan lagi berdasarkan sentimen primordial. Hal ini menunjukkan bahwa terciptanya kekuatan fondasi demokrasi pluralistik di Indonesia.
Gaya kepemimpinan Sherly Tjoanda yang empatik, inklusif, dan kolaboratif menawarkan model alternatif yang relevan bagi kondisi Indonesia yang majemuk. Ia berhasil membangun konsensus tanpa memaksakan asimilasi, membuktikan bahwa pemimpin dapat menghormati keberagaman sambil menciptakan identitas kolektif yang kuat.
Kepemimpinan Sherly Tjoanda menunjukkan bahwa pengalaman pribadi dapat menjadi modal politik yang kuat ketika dikelola dengan strategi yang tepat. Kepemimpinannya membuka jalan bagi generasi pemimpin perempuan dan minoritas masa depan, membuktikan bahwa representasi penting dan perubahan mungkin terjadi. Sherly Tjoanda bukan anomali—ia adalah cermin Indonesia yang sesungguhnya: tangguh, beragam, dan penuh harapan.
Referensi
Abubakar, I., & Hasan, N. (2011). Islam di ruang publik : politik identitas dan masa depan demokrasi di Indonesia. Center for Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah J. //perpustakaan.komnasham.go.id/opackomnas/index.php?p=show_detail&id=11214
Basri, J., Basri, S. A. N., & Indriyani, I. (2022). Risiko Politik Identitas Terhadap Pluralisme Di Indonesia. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 16(3), 1027. https://doi.org/10.35931/aq.v16i3.991
Databoks. (2025). Statistik Penduduk Beragama Islam di DI Yogyakarta 2015-2024. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/48bc3c0cfb1959f/75-7-penduduk-di-maluku-utara-beragama-islam
Deni, A. (2025). Polarization of Muslim Voters in the 2024 Regional Elections in North Maluku. Politicos: Jurnal Politik Dan Pemerintahan, 5(1), 26–44. https://doi.org/10.22225/politicos.5.1.2025.26-44
Gusmansyah, W. (2019). Dinamika Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik Di Indonesia. HAWA, 1(1). https://doi.org/10.29300/hawapsga.v1i1.2233
Mulawarman, Saputra, I., Banggu, M., Tusriadi, & Amalia, D. R. (2025). Kemenangan Pasangan Sherly Tjoanda dan Sarbin Sahe Sebagai Representasi Kelompok Minoritas pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara 2024. Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial, 11(1), 323–342. https://doi.org/10.33506/jn.v11i1.4467
Nawang, C. (2025). Sherly Tjoanda dan Strategi Menaklukkan Beban Tripel Minoritas. Marketeers. https://www.marketeers.com/sherly-tjoanda-dan-strategi-menaklukkan-beban-tripel-minoritas/
Nurhidayatul Ulla, F., Erviantono, T., & Andreas Noak, P. (2024). Analisis Dinasti Politik Jokowi: Resiko Terulangnya Era Orde Baru. Retorika Jurnal Komunikaso, Sosial, Dan Ilmu Politik, 7482(6), 29–34. https://jurnal.kolibi.org/index.php/retorika/article/view/3791
Oktaviani, D. (2024). Alasan Sherly Tjoanda Ingin Lanjutkan Perjuangan Benny Laos. POPMAMA. https://www.popmama.com/life/relationship/alasan-sherly-tjoanda-ingin-lanjutkan-perjuangan-benny-laos-00-3jlj6-rnhmhh
P2K Universitas STEKOM. (2025). Sherly Tjoanda. https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Sherly_Tjoanda
Pulungan, T. (2025). Kisah Sherly Tjoanda: Lolos dari Maut, Tionghoa, hingga Jadi Gubernur Maluku Utara. Erakini. https://www.erakini.id/daerah/era-0NNIC/kisah-sherly-tjoanda--lolos-dari-maut--tionghoa--hingga-jadi-gubernur-maluku-utara
Rois, D. U. (2025). Sherly Tjoanda : Saya Tidak Merasa sebagai Minoritas, Saya Bagian dari Keluarga Besar KAHMI. Jatimupdate.Id. https://jatimupdate.id/baca-12409-sherly-tjoanda-saya-tidak-merasa-sebagai-minoritas-saya-bagian-dari-keluarga-besar-kahmi
Rossa, V. (2025). Belajar dari Sherly Tjoanda: Menjadi Pemimpin yang Lembut Namun Tegas, Tidak Harus Berteriak. Dewiku. https://www.dewiku.com/trending/2025/06/13/080000/belajar-dari-sherly-tjoanda-menjadi-pemimpin-yang-lembut-namun-tegas-tidak-harus-berteriak
Situmorang, D. (2025). Budaya Patriarki dan Struktur Ketidakadilan Gender di Indonesia. Kumparan. https://kumparan.com/devana-situmorang/budaya-patriarki-dan-struktur-ketidakadilan-gender-di-indonesia-25ErwYL9toc
Sofifi. (2025). Sherly Tjoanda: 48 Pejabat Dilantik, ASN Harus Output Oriented - Serambi Timur. SerambiTimur. https://serambitimur.id/sherly-tjoanda-48-pejabat-dilantik-asn-harus-output-oriented/
Susanto, A. A. (2023). Partisipasi Politik Etnik Tionghoa: Tantangan Dan Hambatan. Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi (PKNS), 1(2), 7–9. https://pkns.portalapssi.id/index.php/pkns/article/view/94
Utama, V. R. (2025). Etnis Tionghoa dalam Politik Indonesia: Rekonsiliasi atau Komodifikasi? KOMPAS.Com. https://nasional.kompas.com/read/2025/01/29/08532101/etnis-tionghoa-dalam-politik-indonesia-rekonsiliasi-atau-komodifikasi
Wikipedia. (2025). Sherly Tjoanda. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Sherly_Tjoanda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI