Kombinasi ketiga faktor ini menciptakan “uji berlapis” yang harus dihadapi Gubernur Maluku Utara tersebut. Ia dituntut dituntut membuktikan kapasitas teknokratis sekaligus menampilkan etos kepemimpinan yang resonan secara religius—amanah, adil, dan berorientasi pada kemaslahatan umum. Disisi lain, ia juga harus meruntuhkan prasangka etnis melalui transparansi kebijakan, pelayanan yang inklusif, dan koalisi lintas komunitas.
Dinamika Kekuasaan dan Legitimasi
Sherly Tjoanda, perempuan Tionghoa Kristen yang kerap dilabeli triple minority, berhasil menembus panggung kekuasaan tertinggi daerah di Maluku Utara. Kemenangannya menantang logika mayoritarianisme yang lazim mendominasi politik elektoral di Indonesia. Identitas gender, etnis, dan agama yang biasanya berfungsi sebagai liability politik justru diartikulasikan sebagai modal legitimasi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah legitimasinya bersumber dari kapasitas individu, kekuatan finansial, ataukah hasil strategi continuity branding yang diasosiasikan dengan identitas mendiang suaminya, Benny Laos?
Representasi Minoritas dan Strategi Continuity Branding
Dalam kerangka teori dinasti politik, kandidat yang memiliki afiliasi keluarga memperoleh keuntungan legitimasi karena diasosiasikan dengan kesinambungan program (Ulla et al., 2024). Strategi continuity branding Sherly terlihat jelas ketika ia memposisikan diri sebagai penerus warisan politik mendiang suaminya, terutama pada sektor kesehatan dan pendidikan (Popmama, 2025). Namun, keberhasilannya tidak dapat direduksi semata pada kapital politik keluarga. Latar belakang pendidikan internasional, kiprah sosial melalui Yayasan Bela Peduli dan DPD HKTI Maluku Utara, serta reformasi birokrasi lewat uji kompetensi ASN menunjukkan kapasitas administratif yang nyata (Ensiklopedia STEKOM, 2025; Serambi Timur, 2025). Dengan demikian, Sherly membangun legitimasi alternatif melalui kombinasi antara modal kompetensi, sumber daya finansial, dan narasi keberlanjutan.
Konteks demografi memperkuat kompleksitas kasus ini. Dengan 75,7% penduduk Maluku Utara beragama Islam (Databoks, 2025), preferensi politik seharusnya mengikuti garis mayoritarian. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pascakonflik 1999–2002, pemilih Muslim semakin pragmatis dengan mempertimbangkan rekonsiliasi, pelayanan publik, dan kapabilitas kandidat dibanding sekadar identitas agama (Deni, 2025). Di sisi lain, representasi minoritas dapat berfungsi sebagai simbol perubahan dan rekonsiliasi bila dikombinasikan dengan janji konkret (Mulawarman et al., 2025).
Kemenangan Sherly dapat dibaca sebagai kasus di mana continuity branding berpadu dengan legitimasi alternatif dan simbol rekonsiliasi minoritas. Alih-alih terjebak pada label “politik dinasti” dan “triple minority”, Sherly memperlihatkan bagaimana interseksi identitas yang rentan dapat ditransformasikan menjadi modal elektoral yang efektif. Implikasinya, fenomena ini menantang pemahaman klasik tentang demokrasi lokal: politik elektoral di Indonesia tidak semata dikendalikan oleh aritmetika mayoritas, tetapi juga oleh kemampuan kandidat memaknai kerentanan sebagai sumber daya simbolik sekaligus instrumen konsolidasi politik.
Praktik Kepemimpinan Inklusif
Kemenangan Sherly Tjoanda sebagai triple minority menunjukkan bahwa toleransi tetap menjadi kekuatan di Maluku Utara. Identitasnya yang menjadi minoritas baik dari segi agama, suku, maupun gender dalam hal kepemimpinan bukan lagi menjadi persoalan bagi masyarakat Maluku Utara. Hal ini membuktikan kedewasaan masyarakat dalam memilih pemimpin tanpa ada unsur bias.
Kunci keberhasilan sang gubernur dalam mendobrak beban triple minority adalah menerapkan strategi politik yang sophisticated (Nawang, 2025). Strategi tersebut ialah dengan mempraktikkan gaya kepemimpinan yang pasti tanpa bermodalkan narasi kisah menyedihkan di hidupnya (Nawang, 2025). Kemampuannya dalam berkomunikasi dan membangun kepercayaan lintas segmen masyarakat mampu menjadi kunci diplomasi kulturalnya.
Berbeda dengan anggapan umum bahwa kepemimpinan harus diiringi emosi yang tinggi, pemimpin justru menunjukkan pendekatan yang berbeda. Wanita kelahiran Ambon ini memiliki gaya kepemimpinan yang mengedepankan empati, komunikasi terbuka, dan kejelasan arah tanpa harus dibarengi dengan emosi yang berlebihan (Rossa, 2025). Selain itu, ia berhasil menjadi pemimpin yang tegas dan konsisten. Gaya kepemimpinan ini memperlihatkan bahwa walaupun menjadi pemimpin perempuan, ia mampu memiliki kekuatan yang tidak selalu terlihat dominan, tetapi cukup dengan konsistensi pada nilai (Rossa, 2025). Hal ini yang menjadi pondasi Sherly Tjoanda sebagai pemimpin untuk mencapai keberhasilan baik untuk kepercayaan publik, kebijakan, hingga program.
Meski berstatus minoritas, ia justru sangat terbuka terhadap keberagaman. Hal ini dibuktikan dengan Sherly Tjoanda yang menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Kota Ternate pada 25 Agustus 2025 (Rois, 2025).
“Saya tidak merasa sebagai minoritas, tetapi sebagai Merah Putih, sebagai bagian dari keluarga besar KAHMI,” —via Jatimupdate.id
Meskipun secara sosiologis berada dalam posisi triple minority, Sherly Tjoanda dengan lantang menyebutkan bahwa ia bukan minoritas, tetapi bagian dari Merah Putih dan termasuk keluarga besar KAHMI. Keterlibatannya memperlihatkan bahwa ia berhasil membangun persatuan tanpa menghilangkan identitas diri. Sherly Tjoanda membuktikan bahwa kepemimpinan inklusif dapat dibangun dengan menghormati keberagaman sambil menciptakan visi bersama untuk kemajuan daerah, tanpa memaksa penyeragaman identitas.