Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Iwan Triyuwono dan Mulawarman, dua akademisi Indonesia yang mengembangkan konsep akuntansi spiritual dan etis. Mereka menegaskan bahwa akuntansi yang sejati adalah akuntansi yang memanusiakan manusia bukan yang menindas dengan angka.
Dengan menempatkan makna, empati, dan tanggung jawab sebagai inti, hermeneutik Dilthey membantu akuntansi kembali ke akar moralnya. Akuntan bukan sekadar teknisi angka, tetapi juga penafsir kehidupan ekonomi yang bertugas menjaga keseimbangan antara kepentingan finansial dan kemanusiaan.
7. Hermeneutik sebagai Landasan Akuntansi yang Berkelanjutan
Akhirnya, hermeneutik memberikan dasar bagi terciptanya akuntansi yang berkelanjutan secara moral dan sosial. Ia mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak hanya diukur dari laba jangka panjang, tetapi juga dari keberlangsungan nilai kemanusiaan di dalamnya.
Akuntansi hermeneutik membantu dunia bisnis untuk berpikir melampaui laporan keuangan:
- Bagaimana keputusan keuangan mempengaruhi kehidupan orang lain?
- Apakah keuntungan perusahaan mencerminkan keseimbangan sosial?
- Bagaimana angka-angka dapat menjadi alat refleksi, bukan sekadar alat kontrol?
Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan bahwa hermeneutik bukan hanya teori abstrak, tetapi juga panduan praktis untuk menciptakan dunia ekonomi yang lebih adil, reflektif, dan manusiawi.
Bagaimana Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey Diterapkan dalam Akuntansi Modern ?
Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey tidak hanya memberikan fondasi filosofis, tetapi juga arah praktis bagi dunia akuntansi masa kini. Hermeneutik bukan sekadar teori abstrak tentang pemahaman, melainkan metode reflektif untuk menafsirkan makna di balik setiap angka, kebijakan, dan laporan. Dalam konteks modern yang serba digital, pendekatan ini menuntun para akuntan, auditor, peneliti, dan pendidik untuk melihat akuntansi sebagai bahasa kehidupan manusia.