Indonesia, dengan kekayaan nilai-nilai spiritual dan sosial seperti gotong royong, kejujuran, dan tanggung jawab kolektif, memiliki tanah subur untuk mengembangkan paradigma akuntansi hermeneutik. Nilai-nilai lokal dapat hidup berdampingan dengan standar global, selama kita memahami maknanya dengan hati.
Seperti kata Gadamer, "Pemahaman sejati bukanlah menyalin makna orang lain, melainkan berjumpa dengan makna itu dalam dialog." Dalam akuntansi, dialog ini terjadi antara angka dan nurani, antara laporan dan realitas, antara manusia dan kemanusiaannya sendiri.
Oleh karena itu, akuntansi hermeneutik bukan sekadar teori ia adalah cara hidup.
Cara untuk memahami bahwa setiap angka adalah cerita, setiap laporan adalah refleksi moral, dan setiap keputusan ekonomi adalah cermin tanggung jawab kemanusiaan kita.
Dengan menyatukan epistemologi (pemahaman makna), ontologi (kehidupan sosial), dan aksiologi (nilai moral), Wilhelm Dilthey telah membuka jalan bagi kita untuk melihat akuntansi sebagai seni memahami kehidupan. Dan selama manusia masih mencari makna di balik angka, hermeneutik akan tetap relevan bukan hanya di ruang akademik, tetapi di setiap ruang di mana manusia berusaha hidup dengan jujur dan bermakna.
Daftar Pustaka
Belkaoui, A. R. (2004). Accounting Theory. London: Thomson Learning.
Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, 61(4), 601--632.