Contohnya, penelitian tentang perilaku auditor atau keputusan etis manajer dapat dilakukan dengan pendekatan fenomenologis-hermeneutik untuk memahami bagaimana nilai-nilai pribadi, budaya organisasi, dan tekanan sosial membentuk praktik akuntansi sehari-hari.
Pendekatan ini menghasilkan pengetahuan yang lebih manusiawi dan reflektif, sejalan dengan pandangan Dilthey bahwa ilmu sosial bertujuan bukan untuk menjelaskan (erklren), melainkan memahami (verstehen).
8. Mewujudkan Akuntansi sebagai Seni Memahami Kehidupan
Pada akhirnya, penerapan hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam akuntansi modern membawa kita pada kesadaran baru: bahwa akuntansi bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan seni memahami kehidupan manusia.
Ketika seorang akuntan menyusun laporan, seorang auditor menilai kebenaran, atau seorang dosen mengajar akuntansi, yang sesungguhnya mereka lakukan adalah menafsirkan makna kehidupan sosial melalui angka. Dalam setiap transaksi, terdapat cerita tentang niat, perjuangan, dan tanggung jawab moral.
Hermeneutik menjadikan akuntansi bukan alat kekuasaan, tetapi bahasa empati dan kejujuran. Dengan memahami manusia di balik angka, akuntansi tidak hanya menjadi sarana ekonomi, tetapi juga sarana kemanusiaan tempat di mana rasionalitas bertemu moralitas, dan data bertemu makna.
Penutup
Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya lahir dari penjelasan yang objektif, tetapi dari pemahaman yang hidup. Dalam konteks akuntansi, ini berarti setiap angka, laporan, dan transaksi memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar nilai nominal. Ia adalah cermin kehidupan manusia kehidupan yang penuh nilai, niat, dan tanggung jawab moral.
Hermeneutik menjadikan akuntansi bukan hanya sistem teknis, melainkan bahasa kehidupan. Setiap laporan keuangan bisa dibaca seperti teks yang bercerita tentang perjuangan, niat baik, dan dilema moral pelaku ekonomi. Dengan memahami makna di balik angka, kita tidak hanya menjadi akuntan yang cerdas, tetapi juga manusia yang bijak.
Pendekatan ini menantang paradigma lama yang terlalu positivistik, di mana kebenaran dianggap hanya bisa diukur dengan statistik dan rasionalitas. Dilthey mengingatkan bahwa kebenaran juga bisa ditemukan dalam koherensi makna, dalam empati terhadap pengalaman orang lain, dan dalam nilai-nilai moral yang menuntun tindakan manusia.
Dalam dunia akuntansi modern yang kini sarat teknologi, hermeneutik menjadi jembatan antara manusia dan sistem. Ketika kecerdasan buatan mengambil alih proses pencatatan, manusia justru memiliki peran baru: menjadi penafsir makna, penjaga nilai, dan penghubung antara angka dan nurani. Akuntansi tidak lagi sekadar bicara tentang how much, tetapi juga what for dan why.
Bagi mahasiswa dan dosen, pendekatan ini membuka cakrawala baru: bahwa belajar akuntansi berarti juga belajar memahami manusia. Bagi praktisi, hermeneutik menjadi landasan untuk membangun kepercayaan dan tanggung jawab sosial. Bagi masyarakat luas, ia menghadirkan keyakinan bahwa laporan keuangan bukan sekadar dokumen administratif, tetapi juga bentuk komunikasi moral antara lembaga dan publik.