Kedua, politisasi agama yang sering digunakan oleh kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan atau kepentingan politik. Sentimen keagamaan yang dieksploitasi untuk tujuan politik dapat memperkeruh hubungan antarumat beragama dan menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Dalam konteks demokrasi modern, politik identitas berbasis agama menjadi fenomena yang perlu diwaspadai.
Strategi Membangun Kehidupan Beragama yang Pluralis
Untuk mewujudkan pluralisme agama dalam praktik, diperlukan strategi yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak. Pertama, dialog antarumat beragama perlu diintensifkan, bukan hanya di level elite agama tetapi juga di tingkat akar rumput. Dialog yang efektif adalah yang tidak hanya membahas perbedaan dogma, tetapi lebih fokus pada nilai-nilai universal dan isu-isu kemanusiaan bersama seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Kedua, pendidikan multikultural dan literasi agama harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Siswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang berbagai agama, bukan untuk mengubah keyakinan mereka, tetapi untuk membangun pemahaman dan empati terhadap pemeluk agama lain. Program pertukaran pelajar antarsekolah dengan latar belakang agama berbeda juga dapat menjadi sarana efektif membangun persahabatan lintas agama sejak dini.
Ketiga, membangun ruang-ruang bersama (common ground) di mana umat berbagai agama dapat berinteraksi dan bekerja sama. Ini bisa berupa kegiatan sosial, kemanusiaan, pelestarian lingkungan, atau kerja sama dalam bidang ekonomi. Pengalaman bekerja sama untuk tujuan bersama dapat mengurangi prasangka dan membangun kepercayaan antarumat beragama.
Praktik Baik Pluralisme Agama di Indonesia
Indonesia memiliki tradisi panjang dalam mengelola keberagaman agama. Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa," memberikan landasan bagi kehidupan beragama yang bebas namun tetap bertanggung jawab. Konsep "Bhinneka Tunggal Ika" yang sudah ada sejak zaman Majapahit, menunjukkan bahwa pluralisme bukanlah hal baru dalam kultur Indonesia.
Di berbagai daerah, terdapat praktik-praktik lokal yang menunjukkan harmoni antarumat beragama. Misalnya, tradisi gotong royong dalam membangun tempat ibadah, saling mengunjungi saat hari raya agama masing-masing, atau kerjasama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Di Bali, konsep Tri Hita Karana yang menekankan harmonisasi hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam, dipraktikkan lintas komunitas agama.
Penutup /Kesimpulan
Pluralisme agama adalah keniscayaan dalam masyarakat modern yang semakin kompleks dan terhubung. Pemahaman yang tepat tentang pluralisme---sebagai sikap aktif menghormati dan berinteraksi positif dengan pemeluk agama lain sambil tetap berkomitmen pada keyakinan sendiri---menjadi kunci bagi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. Pluralisme bukan tentang mengorbankan identitas keagamaan, melainkan tentang mengembangkan sikap menghargai keberagaman sebagai anugerah yang memperkaya kehidupan bersama.
Tantangan dalam implementasi pluralisme agama memang tidak ringan, mulai dari eksklusivisme agama, politisasi identitas, hingga fundamentalisme. Namun, tantangan-tantangan ini dapat diatasi melalui pendidikan yang inklusif, dialog yang tulus, kerja sama dalam isu-isu kemanusiaan bersama, dan peran aktif dari berbagai pemangku kepentingan termasuk negara, tokoh agama, pendidik, dan media.