Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Corona dan Runtuhnya Nalar Kita

9 April 2020   17:42 Diperbarui: 9 April 2020   17:49 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang kita hidup di era digital. Anak muda yang terkategori generasi Y, Z dan Alpha sudah terbiasa dengan gawai (gadget) sejak lahir. Baru keluar dari rahim ibunya sudah terpapar flash kamera. 

Padahal belum diadzankan ayahnya. Begitulah fenomenanya. Kini tak ada lagi remaja yang mengonsumsi media cetak seperti koran dan majalah. Kecuali sedikit. Semua memuaskan dahaga informasinya di internet. Biayanya murah. Aksesnya cepat. Terkoneksi pula ke seluruh dunia. Dengan Google semua bisa jadi "pintar".

Persoalannya, banyak dari kita yang pintar hanya ponselnya, tidak dengan penggunanya. Mengapa? Suka tidak suka, dari trilyunan informasi yang berkelindan di jagat maya, tak semuanya valid alias benar. Bahkan menurut Tom Nichols, 90%nya adalah sampah informasi.  Sialnya berbekal pengetahuan yang keliru itu banyak orang overconfidence dan --bahasa Medannya- "sok paten" merasa sudah tahu segalanya.

Banyak warganet yang merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh artis, selebgram, youtuber dan orang-orang beken lainnya. Inilah  yang membuat Tom Nichols menulis buku The Death of Expertise, Matinya Kepakaran. Saat ini orang tidak lagi percaya kepada pakar atau ahli. 

Publik lebih senang untuk memercayai apa yang populer, viral dan banyak diikuti orang kebanyakan. Kemampuan memverifikasi (tabayyun) kita lemah. Hal ini sudah diprediksi Tyler Cowen (2009), "Apabila akses ke informasi menjadi mudah, kita cenderung menyukai bagian yang pendek, yang manis dan yang sedikit."

Apalagi di republik +62 yang kepemilikan gawainya lima besar dunia, tapi literasinya peringkat 60 dari 61 negara. Hanya selevel lebih baik dari Botswana nun jauh di Afrika. Akibatnya apa? Hoaks alias kabar bohong menjamur di mana-mana. Tua muda menjadi penyebarnya. Tak sedikit yang marah ketika dikoreksi bahwa ia menyemai berita palsu. Mulai dari tema kesehatan, politik, agama dan sebagainya.

Kenapa orang memproduksi hoaks? Ada yang semata karena mengejar dollar. Bila kunjungan ke situs meningkat maka asupan iklan dari Adsense akan meroket. Ada pula yang pesanan politisi yang ingin menjatuhkan lawannya maupun pihak luar anonim yang ingin memecahbelah bangsa Lalu kenapa orang menyebar hoaks? Karena ingin dianggap keren menjadi yang pertama kali menyampaikan suatu berita. Dipikirnya keren bisa jadi yang pertama. Padahal tidak selalu begitu kenyataannya.

Termasuk di isu Corona ini, hoaks sangat melimpah. Sebagiannya beririsan dengan apa yang sekarang disebut "cocoklogi". Mirisnya kebohongan semacam ini dipercaya banyak orang. Mulai dari buku Iqra Jilid 3 karya KH As'ad Humam yang tertera di dalamnya teks "qarana khalaqa zamana kadzaba" lalu diterjemahkan secara serampangan menjadi "Corona diciptakan pada zaman penuh kedustaan". Tercium aroma oposisi untuk menyerang rezim yang dituduh "anti Islam" di sini.

Belakangan viral pula unggahan bahwa Corona sudah ada dalam Al-Qur'an pada ayat "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab:33). 

Cocok sekali dengan anjuran tetap #dirumahaja, bukan? Yang tidak kalah hot, beredar seruan mengganti istilah Corona menjadi Qif19 sebab arti Qif adalah "berhentilah". Apakah dengan menyebut Qif19 sebanyak 1000 kali didawamkan tiap bakda shalat lalu wabah ini sirna? Subhanallah. Kamu sukses mengonsumsi satu kedustaan lagi karena dalam bahasa Arab, Corona ditulis dengan huruf kaf, bukan qaf.

Lalu ada lagi klaim Corona buatan Illuminati dan Freemasonry sebagai program The New World Order untuk memusnahkan mayoritas populasi manusia di dunia yang digembar-gemborkan oknum ustadz penjaja tema akhir zaman UZMA hanya berdasar video ruqyah seorang perempuan bercadar yang kesurupan jin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun