Mohon tunggu...
anton
anton Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES, Guru SMA

Suka diskusi dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Sarung dan Peci: Dari Perlawanan Simbolik Menjadi Identitas Nasional

2 Mei 2024   07:04 Diperbarui: 4 Mei 2024   13:25 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Scene Film Sang Kyai (Arrisalahpers.com)

Dalam peristiwa sejarah, terdapat beragam bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni kolonial. Beberapa di antaranya dilakukan secara fisik (konfrontatif), dimana para pejuang mengangkat senjata sebagai simbol perlawanan. Ada pula yang bersifat diplomatis, menjalani proses perundingan melalui meja-meja perundingan untuk mencapai tujuan politik. Sementara itu, ada juga yang bersifat simbolik, memanfaatkan tindakan atau simbol untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap penjajahan. Ada juga yang memilih untuk menggabungkan ketiga-tiganya, menggunakan strategi yang terintegrasi untuk mencapai keberhasilan dalam memerangi dominasi kolonial.

Perlawanan simbolik terhadap kaum kolonial merupakan bentuk perlawanan yang menggunakan simbol-simbol atau tindakan simbolis untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap dominasi kolonial. Simbol-simbol tersebut bisa berupa lambang, lagu, slogan, atau bahkan tindakan-tindakan tertentu yang memiliki makna politik atau kultural yang mendalam bagi komunitas yang melakukan perlawanan. Contohnya, dalam konteks perlawanan terhadap kolonialisme, penggunaan bendera nasional atau lambang kebangsaan seringkali menjadi simbol yang kuat. Para pejuang kemerdekaan akan mengibarkan bendera nasional sebagai simbol kemerdekaan dan penolakan terhadap penjajahan asing. Selain itu, lagu-lagu perlawanan juga sering digunakan sebagai alat untuk menyatukan semangat perlawanan dan membangkitkan kebanggaan nasional. Lagu-lagu tersebut sering kali memuat pesan-pesan perlawanan atau semangat untuk membebaskan diri dari penindasan kolonial. Selain itu, tindakan-tindakan simbolik seperti mogok makan, boikot terhadap produk-produk kolonial, atau demonstrasi damai juga merupakan bentuk perlawanan simbolik yang dapat memberikan tekanan kepada penguasa kolonial tanpa perlu kekerasan fisik.

Perlawanan simbolik memiliki kekuatan dalam membangun kesadaran kolektif dan semangat perlawanan tanpa harus menghadapi resiko kekerasan langsung. Melalui simbol-simbol, komunitas yang tertindas dapat menyampaikan pesan-pesan perlawanan mereka dengan cara yang kuat dan efektif kepada kaum kolonial serta masyarakat internasional. Perlawanan semacam ini banyak dilakukan oleh kaum nasionalis di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Dari Perlawanan Simbolik Menjadi Identitas Nasional

Pasca berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), hegemoni kolonial semakin nyata dalam penerapannya di Hindia Belanda. Untuk menanggulangi potensi kebangkitan "fanatisme Islam" yang pernah mengancam stabilitas sebelumnya, pemerintah kolonial mengambil langkah-langkah yang strategis. Salah satunya adalah dengan mendirikan lembaga konsultasi khusus, dikenal sebagai adviseur voor Inlandsche zaken, yang bertugas memahami secara mendalam dinamika dan nilai-nilai masyarakat pribumi. Selain itu, sebagai bagian dari semangat politik etis, pendirian sekolah-sekolah modern dengan kurikulum barat dilakukan untuk memperluas penetrasi budaya Eropa di wilayah koloni (Aqib Suminto, 1978)

Namun, kebijakan politik etis yang pada dasarnya merupakan alat kapitalisme Eropa, mendapat reaksi yang signifikan dari masyarakat, terutama dari kalangan Muslim. Kapitalisme tersebut menyamar di balik niat baik Ratu Belanda untuk memberikan lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan tenaga terampil di pabrik-pabrik. Seiring dengan itu, sekolah-sekolah modern juga dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran agama Kristen, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan Muslim. Di sisi lain, terabaikannya perkembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat kecil oleh pemerintah kolonial, menjadi basis perlawanan utama terhadap hegemoni budaya kolonial.

Dalam konteks psikologis, penolakan terhadap aspek-aspek budaya kolonial seperti gaya berpakaian, sistem pendidikan, dan teknologi, bisa dilihat sebagai reaksi traumatis terhadap kekalahan umat Islam atas dominasi kolonial. Kondisi ini mencerminkan semangat perlawanan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menolak secara sistematis pengaruh budaya yang berasal dari luar. Sarung menandakan atribut khas yang menandai eksistensi suatu kelompok yang betahan dari upaya hegemoni kultural tersebut dari kelompok yang bekuasa.

Penolakan atribut dari segala anasir-anasir kolonial adalah reaksi sebagan kelompok masyarakat yang menolak tunduk pada pihak yang bekuasa dalam hal ini adalah kaum santri. Dengan demikian, upaya pemerintah kolonial dalam memperluas pengaruh budaya Eropa di Hindia Belanda tidak hanya menimbulkan resistensi fisik, tetapi juga mencetuskan pertentangan ideologis dan kultural yang mendalam. Perdebatan antara kaum muslim tradisionalis terhadap kaum modernis pada awal abad XX adalah gambaran betapa resistensi kalangan muslim tradisionalis terhadap budaya Eropa memiliki dasar historis bukan hanya sekadar tafsir yang dogmatis.

Adapun penggunan peci atau kopiah bagi kelompok pergerakan nasional berkembang sejak awal abad XX sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Peraturan yang melarang penggunaan pakaian Eropa serta mewajibkan siswa menggunakan pakaian adat masing-masing daerah dinilai sangat melukai harkat dan martabat.  Pemerintah tidak hanya berlaku diskriminatif tetapi juga ada upaya untuk memecah-mecah persatuan bangsa. Mempertahankan corak feodalistis di kalangan masyarakat agar melunturkan semangat persatuan.

Sebagian aktifis berupaya melawan peraturan ini dengan membawa semangat yang lebih egaliter. HOS Tjokroaminoto merupakan salah satu tokoh yang mengambil sikap dalam peraturan ini. Pendiri Sarekat Islam ini yang awalnya kerap menggunakan blangkon beralih mengguakan peci dalam kesehariannya. Perubahan ini kemudian menjadi inspirasi tokoh-tokoh lainya baik lintas organisasi. Penggunaan peci juga banyak diminati oleh kalangan pesantren sehingga selain menggunakan sarung, kaum santri juga terbiasa menggunakan peci. Hal ini menunjukan bahwa peci bukan hanya digunakan oleh golongan tertentu yang mendapatkan pendidikan ala barat tapi juga telah menjadi identitas bersama.

Sarung dan Peci sebagai Potret Perjuangan
Seiring berjalannya waktu, penggunaan sarung dan peci selain sebagai budaya khas masyarakat Indonesia, telah diidentikan kepada golongan tertentu yakni kalangan pesantren. Klaim bahwa sarung dan peci merupakan budaya khas kaum pesantren tentu tidak sepenuhnya keliru. Fakta historis menujukkan bahwa kaum pesantren merupakan basis utama dalam menentang hegemoni kolonial baik secara frontal maupun simbolik sejak abad XIX hingga abad XX. Simbol-simbol perlawanan tersebut pada era berikutnya diidentik sebagai bagian yang melekat dalam ritual keagamaan.


Dahulu saat era kolonial, semangat zaman yang terbentuk adalah semangat pelawanan terhadap dominasi asing (Londo kapir) sehingga jiwa penolakan terhadap anasi-anasir kolonial sangat kuat. Sejarah perlawanan dengan manggunakan sarung juga dilakukan oleh kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1927, ketika Muktamar ke-2 NU, para  peserta yang terdiri dari ulama dan pimpinan pondok pesantren memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram. Keputusan ini dimaknai oleh banyak kalangan sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme saat itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun