Pergeseran penerapan makna stigma, dari yang awalnya berupa simbol internal kelompok atau pihak "dalam" berubah menjadi semacam lencana yang terbaca oleh pihak "luar" ini disertai pula pergeseran lokus (situs?), dari lokus yang bersifat misteri kebatinan, menjadi lokus yang bersifat prasangka tentang ketentuan/kepastian hasil amatan dangkal dan yang bersifat "gebyah-uyah" (generalisasi).
Fenomena pergeseran makna ini, mungkin sejalan dengan gaya hidup modernisasi yang menyangkal misteri, juga menolak peran aspek kebatinan; maka terjadilah fenomena penjungkir-balikkan, dan berujung pada ciri irasionalitas yang dilekatkan pada semua kecenderungan stigmatisasi.
Bicara tentang irasionalitas stigma PKI, pengalaman penulis ini kiranya cukup menarik untuk diketahui. Belum lama ini, penulis memberikan semacam komentar pada satu artikel tentang peristiwa G30S PKI di aplikasi berita Opera News.Â
Komentar penulis adalah sebagai berikut:"Logika simpel, bila gerakan komunis PKI itu ingin bangkit dan melampiaskan dendam  tentunya momen paling tepat adalah momen saat orba bangkrut atau momen saat pra lahirnya reformasi". Tidak berselang lama, mungkin hanya dalam bilangan waktu satu jam kurang, di platform yang sama muncul artikel singkat (dua alinea) yang didominasi gambar anak membawa lilin disertai judul "Soeharto bukan sasaran utama komunis".Â
Penulis heran, cepat sekali tanggapannya, dan tanggapan itu menggelikan pula; karena presiden rezim orba-lah pelaku pembantai PKI, bila bukan rezim bapak Soeharto lalu siapa yang lebih layak dimusuhi PKI? Inilah contoh korban pabrik stigma terparah!