Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan: Filsafat dan Radikalisme

10 September 2020   13:00 Diperbarui: 11 September 2020   04:20 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis sangat terkejut dengan temuan berita di google hari ini, tepatnya berita tentang soal cerita matematika yang mana tanggapan si anak membuat pembaca tepuk jidat. Sayang, berita yang bersumber dari akun twitter @finrul tersebut tidak menerangkan soal tersebut dibuat untuk es de kelas berapa. Agar lebih mudah dan jelas,  kutipan soal matematika dan jawaban siswa ada di bawah ini.

Pertanyaan: (berupa rangkaian.pernyataan)
Ibu membeli tiga telur
Ibu akan membuat kue
Apa yang harus dilakukan ibu
agar telur itu tidak habis

Jawaban anak:
Tidak usah buat kue. Pertanyaannya aneh.

Dari membaca soalnya, kita sudah langsung tahu bahwa si pendidik atau guru kurang menguasai cara pembuatan soal matematika lewat kalimat. Hal ini bukan masalah sepele, karena dari fakta dasar ini kita seperti disorong oleh daya insting kuat untuk segera menjudge-ment kompetensi si pendidik. Bisa jadi, macam soal yang membuat siswa frustrasi seperti ini produk dari kecerobohan atau ketergesa-gesaan si pendidik, tapi alasan demikian tetap tidak dapat melepaskan diri mereka dari jerat nilai profesionalitas.

Pernyataan dalam rangkaian kalimat itu jelas 'membingungkan', bagi seorang dewasa sekalipun, karena tidak ada kata yang menunjukkan adanya relevansi mutlak antara membuat kue dengan membeli sejumlah telur; dengan demikian anak bebas menafsirkan dan tak dapat disalahkan, kecuali ada keterangan bahwa sejumlah telur dibutuhkan ibu untuk membuat kue.

Dari kebingungan yang tercipta ini, si pendidik terlihat jelas telah melakukan lompatan nalar berdasarkan asumsi kebiasaan (versi si pendidik), bahwa "(biasanya) kue terbuat dari sejumlah telur", tapi kemudian kebiasaan itu digeneralisasi sebagai keharusan mutlak, menjadi "semua kue (harus) dibuat dengan sejumlah telur."

Jawaban si anak tidak salah, justru jawaban yang jujur dan cerdas; karena si anak bisa saja berkesimpulan bahwa agar telur tidak habis, ya tidak perlu buat kue atau sekedar membeli (bukan membuat) kue.

Bila maksud si pendidik ingin membuat soal jebakan, jelas tidak bisa dibenarkan; mengingat taraf umum perkembangan kognitif anak kelas dasar. Satu hal yang pasti, soal tersebut membingungkan si anak yang dapat memicu kemerosotan selera di bidang matematika; dan ini sangat memprihatinkan, mengingat peran penguasaan matematika yang cukup penting.

Dari permasalahan tersebut, muncul semacam hipotesa di benak penulis terkait kecenderungan si pendidik melakukan salto logika seperti tersebut di atas. Pertama, apakah si pendidik kurang menguasai kemampuan berbahasa Indonesia yang dipersyaratkan? Atau, kedua, si pendidik "lemah" di bidang seni bertanya.

Untuk hipotesa yang pertama, dapat segera saya abaikan mengingat kurikulum bahasa Indonesia yang sudah cukup bobot kredit-nya di semua lembaga pendidikan keguruan. Meskipun berdasarkan pengalaman penulis, masih banyak mahasiswa calon guru yang berasal dari luar Jawa (terutama Sumatera pelosok, bukan kota), yang masih sangat lemah dalam penguasaan ketrampilan membuat kalimat bahasa Indonesia. Tapi itu dulu, jauh sebelum medsos digital kita kenal, semoga peran medsos dapat merombak kelemahan tersebut.

Hal yang lebih penulis prihatinkan adalah kemampuan membuat pertanyaan dari para calon guru. Keprihatinan penulis muncul dari beberapa faktor atau dasar alasan. Pertama, faktor proses belajar mengajar yang lebih menonjolkan aspek jawabannya saja, dan penonjolan pada aspek ini berpotensi mengarah ke metoda hafalan.

Kedua, pengaruh budaya timur yang masih kental dan "alergi" pada bentuk pertanyaan langsung.Ketiga, pengaruh pendidikan berorientasi gamis yang lebih menonjolkan semangat ketaatan dan mengurangi nilai pribadi yang gemar mempertanyakan. Keempat, pengaruh jurusan ilmu sains atau eksak,khususnya bidang ilmu matematika, yang lebih menonjolkan logika numerik, dan meremehkan penguasaan verbal, apalagi yang berbentuk pertanyaan verbal.

Untuk alasan faktor pertama, keprihatinan penulis lebih berdasarkan asumsi pada fakta, masih langkanya tenaga pendidik (dari tingkat rendah sampai pendidikan tinggi) yang memulai kelasnya dengan teknik provokasi munculnya pertanyaan dari anak didik (mahasiswa). Paling banter, si pendidik memulai kelasnya dengan pertanyaan dari pihak pendidik sendiri, ini pun tidak banyak atau jarang diterapkan.

Faktor alasan kedua, yakni pengaruh budaya timur yang masih kental dan alergi pada sikap keingintahuan anak, masih berlaku luas di daerah pedesaan yang belum tersentuh budaya digital; tapi, di daerah perkotaannya pun, para ortu siswa masih sering terjebak oleh hasrat instant gaya konsumerisme (di bidang pilihan karir), sehingga ortu cenderung membatasi aspirasi atau pilihan bebas si anak untuk mengekplorasi seluas-luasnya potensi yang dimilikinya, dan bila si anak sudah merasa pasrah dan terdikte dengan desakan (pilihan) orang-tua, akan lebih sukar bagi si anak untuk mengembangkan daya kreatif penggenap kuriositasnya.

Faktor alasan ketiga, yakni pengaruh metoda belajar ala gamis yang lebih menonjolkan sikap taat dan cenderung memiliki prasangka buruk bagi mereka yang kerap bertanya; pertanyaan dianggap sebagai cermin kekurangberimanan. Pengaruh nilai seperti ini masih berlaku luas baik di desa maupun kota, akibatnya daya perjuangan siswa untuk bersikap kritis melalui pertanyaanpun pudar, dan siswa lebih gemar menunjukkan sikap peneguhan nilai ketaatan atau sikap penolakan radikal pada ragaman perspektif. Contoh praktis, si pendidik dengan latar belakang gamis lebih sering merapalkan peratura baku dan mutlak yang harus dihafalkan daripada memunculkan wacana atau situasi dilematis yang merangsang semangat bertanya dari para siswanya.

Faktor alasan keempat, yakni pengaruh bidang studi pendidikan eksak, khususnya matematika, cenderung membatasi diri hanya pada metoda pertanyaan numerik atau hanya pada yang mungkin untuk diterjemahkan ke dalam bentuk angka (numerik). Alasan terakhir ini, menurut penulis, pengaruhnya kurang berarti dan bisa diabaikan.

Dari beberapa alasan di atas, maka penulis menghimbau agar ilmu filsafat, terutama yang berhubungan dengan sejarah pemikiran, dapat lebih dini diperkenalkan dalam dunia pendidikan nasional, dengan harapan agar mata pelajaran filsafat dapat mengubah dampak atau pengaruh dari faktor penghambat tumbuhnya daya kritis pertanyaan. Mengapa? Tidak cukupkah upaya membangkitkan semangat bertanya itu disisipkan dalam mata pelajaran lain?

Jawabnya, tidak; karena hanya dalam ilmu filsafatlah, metoda bertanya itu menduduki peran dominasi; dan untuk merevolusi kebiasaan yang berpatok pada penguasaan rumusan belaka (dan yang terlanjur berakar) di semua bidang studi lain, kita perlu satu bidang studi yang membalikkan patokan tersebut, selain itu, di luar pengajaran bidang filsafat, guru kerap terperangkap dalam difinisi sempit batas keilmuannya, sehingga tidak "pe de" untuk memprovokasi tercetusnya pertanyaan dari pihak siswa yang seringkali cakupannya meluas hingga lintas disiplin ilmu. Jadi, saran penulis, untuk pelajaran filsafat bagi non-profesi kefilsafatan, harus dipilih yang menonjolkan aspek dinamika sejarah pemikiran, karena pilihan aspek seperti inilah yang paling berpotensi untuk memunculkan pertanyaan baru; pertanyaan khas dari para filsuf perintis atau pembaharu perspektif pemikiran.

     Pendidikan filsafat juga akan memberi kontribusi besar pada pencegahan gaya berpikir radikal yang mulai merambah ke segenap ranah kehidupan berbangsa; meskipun cara pendidikan filsafat yang hanya berorientasi teleologis pun masih mungkin memunculkan resiko bahaya radikalitas, setidaknya, kita telah memberikan landasan kokoh berupa dukungan pembenaran pada siswa agar semakin berani bertanya tentang ragam kemungkinan pilihan; bagaimanapun jalan menuju ke arah budaya bertanya telah kita buka. Inilah kancah pertempuran yang kian lapang dan harus kita hadapi! Terima-kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun