Mohon tunggu...
Antonia Rei
Antonia Rei Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis berarti menciptakan duniamu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjelajahi Kompleksitas Isu Kontemporer Generasi Z di Indonesia

4 Juni 2025   19:26 Diperbarui: 4 Juni 2025   19:26 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SURAKARTA, INDONESIA -- Generasi Z, kelompok demografi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, kini berada di garis depan transformasi sosial, ekonomi, dan digital Indonesia. Sebagai generasi yang sepenuhnya tumbuh di era internet dan disrupsi teknologi, Gen Z menghadapi serangkaian isu kompleks yang membentuk pandangan dunia, aspirasi, dan tantangan mereka di masa kini dan mendatang. Artikel ini akan mengupas secara mendalam isu-isu krusial yang melingkupi Generasi Z di Indonesia, dari tekanan ekonomi hingga krisis kesehatan mental, serta bagaimana mereka beradaptasi di tengah lanskap yang terus berubah.

Tekanan Ekonomi dan Prospek Pekerjaan: Sebuah Realitas yang Menghimpit

Salah satu isu paling mendesak yang dihadapi Generasi Z adalah tekanan ekonomi dan prospek pekerjaan yang belum stabil. Survei terbaru menunjukkan bahwa biaya hidup yang tinggi menjadi kekhawatiran utama bagi 39% Gen Z, mengalahkan isu-isu lain seperti kesehatan mental dan pengangguran. Realitas ini diperparah dengan tingginya angka pengangguran di kalangan mereka, bahkan bagi para lulusan sarjana.

Fenomena ini dapat dianalisis dari beberapa sudut pandang. Pertama, kesenjangan antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan industri masih menjadi pekerjaan rumah. Banyak lulusan merasa tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan tuntutan pasar kerja modern yang didominasi oleh ekonomi digital dan otomatisasi. Kedua, persaingan ketat dalam mencari pekerjaan yang layak kian mempersempit peluang, memaksa Gen Z untuk menerima posisi di bawah kualifikasi atau menghadapi ketidakpastian karier yang panjang.

Selain itu, pandemi COVID-19 telah meninggalkan dampak jangka panjang pada pasar kerja, memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan kerja bagi pendatang baru. Kondisi ini mendorong Gen Z untuk lebih adaptif, mencari peluang di sektor ekonomi gig, atau bahkan menciptakan lapangan kerja sendiri melalui kewirausahaan digital.

Kesehatan Mental: Wabah Senyap di Balik Layar Digital

Isu kesehatan mental telah menjelma menjadi krisis senyap di kalangan Generasi Z. Paparan konstan terhadap media sosial, tekanan untuk mencapai standar sempurna, serta ekspektasi sosial yang tinggi sering kali memicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Data menunjukkan bahwa hampir 46% Gen Z melaporkan mengalami kecemasan dan stres terkait pekerjaan, sebuah indikator yang mengkhawatirkan.

Lingkungan digital, meskipun menawarkan konektivitas tanpa batas, juga menjadi medan pertempuran bagi kesehatan mental mereka. Fenomena cyberbullying, Fear of Missing Out (FOMO), dan perbandingan sosial yang intens di media sosial dapat memperburuk kondisi psikologis. Dukungan psikiater dan psikolog masih terbatas di banyak daerah, dan stigma seputar masalah kesehatan mental masih menjadi penghalang bagi Gen Z untuk mencari bantuan profesional. Pentingnya edukasi dan akses yang lebih mudah terhadap layanan kesehatan mental menjadi krusial untuk mengatasi masalah ini.

Gaya Hidup Digital dan Tantangan Adaptasi

Generasi Z adalah digital native sejati. Kehidupan mereka tidak terpisahkan dari internet dan platform digital. Namun, kemahiran digital ini juga membawa tantangan tersendiri. Ketergantungan pada gawai dan paparan konten yang masif memunculkan isu literasi digital kritis. Kemampuan untuk membedakan informasi yang akurat dari disinformasi, serta bahaya kecanduan judi daring, adalah perhatian serius yang memerlukan intervensi kolektif dari keluarga, institusi pendidikan, dan pemerintah.

Di sisi lain, Gen Z menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap isu-isu global seperti keberlanjutan lingkungan dan etika konsumsi. Mereka cenderung memilih merek yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan, serta lebih mengutamakan pengalaman dibandingkan kepemilikan material. Pergeseran nilai ini mencerminkan keinginan mereka untuk menjadi agen perubahan dan memberikan dampak positif bagi dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun