Belakangan isu penundaan pemilu menjadi wacana yang terus digulirkan oleh beberapa elite politik, mulai dari ketua umum partai hingga para menteri di kabinet Jokowi, wacana tersebut memantik pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, ada yang mendukung namun tidak sedikit yang menolaknya.
Ada beberapa alasan yang digunakan sebagai dalih untuk menunda pelaksanaan pemilu, pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 misalnya menjadi salah satu alasan yang terus digaungkan sebagai alasan penundaan pemilu disamping isu-isu lainnya.
Bila mencermati perkembangan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, kondisinya sudah relatif membaik apabila dibandingkan dua tahun terkahir semenjak 2020 ketika Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia, angka penularan pun terus mengalami penurunan.
Situasi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh dunia, bahkan ada beberapa negara yang telah membuat pelonggaran secara ekstrim untuk mempersiapkan diri memasuki fase endemi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terus mengalami peningkatan secara positif, itu artinya pemerintah cukup berhasil mengendalikan krisis akibat pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia.
Karena itu, isu pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 yang sengaja dihembuskan oleh beberapa elite politik sebagai alasan penundaan pemilu rasanya tidak berbanding lurus dengan kondisi sesungguhnya yang terjadi saat ini, dimana pemerintah relatif berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Ada semacam kecurigaan bahwa para elite politik ini enggan melepaskan jabatannya sehingga dengan sengaja secara terus-menerus menghembuskan isu penundaan pemilu untuk bisa kembali menikmati perpanjangan masa jabatannya.
Apapun alasan yang dikemukakan, yang pasti bahwa sebagai negara demokrasi harusnya para elite politik yang saat ini sedang berkuasa harus menghormati dan menjunjung tinggi konstitusi yang telah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama dua periode.
Jangan sampai kemudian ada semacam penggiringan opini publik yang sengaja diarahkan untuk tujuan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dengan dalih yang tidak jelas hanya untuk sekedar memenuhi syahwat kekuasaan segelintir orang di lingkaran istana.
Kekuasaan yang tanpa batas hanya akan melahirkan otoritarianisme, karena itu pergantian kepemimpinan harus dilakukan secara simultan sesuai amanat konstitusi untuk menjaga kekuasaan tanpa batas yang bisa berujung pada kesewenang-wenangan dan otoritarianisme layaknya rezim orde baru ketika berkuasa selama 32 tahun.