Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Melawan Lupa Ajaran Pancasila

12 Juni 2012   04:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Trauma sejarah membuat Pancasila dilupakan oleh generasi sekarang. Saat ini waktu yang tepat membangkitkan kembali ideologi Pancasila. Namun perlu perspektif baru untuk pengajarannya.

Mata Susilaningsih tak berhenti memelototi hasil penelitian yang digelar sebuah partai politik di daerahnya, Senin dua pekan lalu. Penelitian dalam rangka peringatan Bulan Bung Karno di Klaten, Jawa Tengah, itu menunjukkan hampir 50 persen kalangan pelajar di sana tak bisa menghafal butir-butir Pancasila. Ia mensinyalir lunturnya rasa nasionalisme anak bangsa ini sudah sangat memprihatinkan. “Jika Pancasila saja tak hafal, mau di bawa kemana bangsa ini,” ujarnya

Dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini menuturkan, peristiwa tersebut kini terjadi di banyak daerah dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, fenomena tidak hafal teks Pancasila tak hanya terjadi pada pelajar sekolah dasar. Dinas Pendidikan Kabupaten setempat mencatat ratusan siswa SMP dan SMA tak lagi hafal Pancasila. “Ini karena pendidikan Pancasila dihapus dari Kurikulum Pendidikan 2004.”

Kegelisahan Susilaningsih sebagai pendidik bisa dimengerti. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 semula gamblang mewajibkan pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bagi kalangan pelajar hingga perguruan tinggi. Sayangnya, beleid yang diharapkan dapat memandu pemahaman dan internalisasi ideologi negara di kalangan pelajar itu dihapus pada 2004.

Kini perbincangan tentang Pancasila cenderung dianggap aneh dan tak menarik. Pancasila yang pernah digunakan Orde Baru sebagai ideologi tertutup, dinilai antropolog Moeslim Abdurrahman telah menciptakan trauma sejarah. Selain itu, menurunnya semangat kebangsaan juga dipicu oleh menguatnya globalisasi yang tak hanya membawa kapitalisme, tapi juga radikalisme.

Trauma berkepanjangan itu menjadikan generasi saat ini kehilangan bahasa pedagogis untuk menjelaskan ke generasi mendatang, bahwa hanya dengan Pancasila kemajemukan bangsa bisa dipertahankan. Karena itu, menurut Moeslim, sekarang kita tak lagi bisa menggunakan sejarah Pancasila masa lalu. Sebagai rumusan, Pancasila harus dikembalikan pada gagasan lahirnya pancasila. “Pancasila harus menjadi ideologi terbuka,” ujarnya.

Pancasila yang terlalu “menegara” di jaman Orba diakui Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hadjriyanto Y Thohari, menjadikan ideologi terbuka ini tereduksi dan sekadar menjadi ideologi pemerintah. Di saat pemerintah mengalami krisis, pada 1998, berimbas juga pada krisis kepercayaan kepada Pancasila.

Kini banyak perdebatan tentang Pancasila di kalangan politisi di dewan, namun tanpa strategi kebudayaan baru yang bisa menggugah ketaatan terhadap Pancasila. Untuk itu, menurut Moeslim, perlu orang-orang yang legitimate menggelorakan semangat kembali ke Pancasila.

Selain itu menurunnya semangat kebangsaan diduga disebabkan self talk bangsa kita yang negatif. Kita bicara negatif pada bangsa kita sendiri, misalnya bangsa yang korup, bangsa yang malas, bangsa yang suka kekerasan, termasuk bangsa yang saling menyalahkan.

Hatred speech atau kata-kata menghasut dan menimbulkan kebencian ini menurut peneliti intelijen, Mardigu W Prasantyo, turut menyumbang menurunnya rasa kebangsaan, demikian halnya dengan Pancasila. “Di seluruh dunia, hatred speech dilarang, kecuali di Indonesia,” ujarnya.

Tak ada pilihan lain. Sebagai langkah awal, pendidikan Pancasila harus dikembalikan ke kurikulum pendidikan nasional. Dalam kurikulum saat ini, Pancasila terkesan hanya tempelan dalam pendidikan kewarganegaraan. “Kalau tidak ada landasan legal yang eksplisit, ya seperti sekarang, seakan-akan tidak wajib,” ujar Direktur Sekolah Tanpa Batas, P. Bambang Wisudo, Selasa pekan lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun