Mohon tunggu...
Annisha Triana Dewi
Annisha Triana Dewi Mohon Tunggu... Editor - siswa SMAN 1 Padalarang

InsyaAllah menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesalahan Belajar dari Kata "Maaf"

16 Oktober 2019   04:44 Diperbarui: 16 Oktober 2019   04:43 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ku cerah, matahari bersinar terang. Langit biru,kicau burung bergemuruh tiada jenuh. Kampung halaman adalah tempat yang paling cocok denganku. Alam bersahabat, orang -- orang baik nampak hangat. Tepat usia ku menginjak umur 9  tahun aku diam di kampong bersama Nenekku. Kedua orang tua ku berada di Bandung tepatnya di Padalarang, Aku tinggal di Kampung Nenek ku yang bernama Cililin. Disana sungguh menyenangkan,sangat segar dan indah pemandangannya. Aku menginjak usia 9 tahun duduk di bangku kelas 2 SD. Teman -- teman disana sungguh amatlah baik,dan nampaknya aku berkawan arab dengan mereka.

Syifa, panggilannya. Aku punya teman yang bernama Syifa dia nampak baik namun penampilannya cukup tidak biasa nampak seperti seorang pria atau bisa kita sebut ' Tomboy '. Lalu teman ku satu lagi bernama Azizah aku biasa memanggilnya Nuha. Entah mengapa menjadi kebiasaan dia dipanggil seperti itu.

Kami bersekolah di satu tempat yang sama, bahkan kami pun satu kelas dan duduk dibangku yang jaraknya tidak terlalu jauh. Setiap hari kami berbincang,beristrahat bersama dan bergurau bersama. Kami sangat akrab hingga kemana -- mana pun kami selalu bertiga.

Ketika kelas 2 semester 1 terdapat sebuah kejadian dimana itu adalah hari yang tak bisa ku lupakan sampai hari ini. Ketika bel berbunyi semua siswa mulai berkeliaran keluar kelas entah itu untuk istirahat atau pun untuk urusan lain. Pada saat itu kawanku, Syifa dia tidak hadir dan tidak bisa mengikuti pelajaran dikarenakan sakit yang membuatnya harus tidak sekolah. Ibunya berkata "Syifa hari ini tidak bisa mengikuti pelajaran" katanya. Ibunya pun langsung menitipkan suratnya kepadaku. Jujur ketika aku bersekolah di kampong aku sama sekali belum pernah merasakan bagaimana orang tua mengantarku sampai pintu gerbang.

Sungguh aku merasa sepi,rasanya dingin dan aneh ketika di perjalanan ke sekolah aku berjalan sendiri, seperti ada yang kurang. Rasanya taka da ucap kata sekecil apapun yang keluar dari mulutuku apabila tak ada dia. Akhirnya tiba di saat waktu belajar aku pun duduk dengan Nuha yaitu teman dekatku juga, namun aku tak sedekat atau pun se akrab apabila dengannya. Rasanya aneh dan bibir terasa kaku apabila berbicara dengannya. Maklum baru kelas 2 awalan dan rasanya masih aneh untuk menjadi akrab karena aku tidak mengenalnya begitu jeli terhadapnya.

Bel isitirahat pun berbunyi. Ia mengajakku untuk membeli makanan,lumayan untuk ganjal perut. Katanya "Hayu urang jajan,ai kamu bawa bekel teu?" masih dalam bahasa yang kaku dengan bahasa sunda yang campuran dengan bahasa Indonesia. Karena aku bingung untuk menolaknya padahal dalam hati aku bekal dengan nasi yang telah Nenekku siapkan tadi, aku berpikir apabila aku membeli makanan aku akan sulit untuk menghabiskan nasi yang telah Nenekku berikan kepadaku.

" Ayo buru,teu kuat lapar ih abimah" kalimat yang ia lontarkan kepadaku sambil menarik tangannku untuk mengantarnya beli makanan. "Aku mah ikut aja we" kataku sambil diam. Lalu dia menarik tangannku dan mengajakku membeli bubur. Kebetulan pada saat itu ada tukang bubur kacang langganannku dan dari kejauhan nampak sang penjual sudah memberiku senyuman hangatnya.Kala itu jam menunjukan pukul 10.00 kurang. Dan aku pun masih belum beres membeli bubur,nampaknya cukup banyak orang -- orang yang bergantian untuk membelinya hingga sampai aku hamper tidak kebagian. Rasanya enak sekali, sang penjualnya pun sangat akrab denganku karena ia cukup dekat dengan ibuku.

Ketika aku kembali ke kelas aku berhenti di seperempat jalan tidak terlalu jauh dengan kelasku. Nuha, temanku. Mengajakku untuk berdiam diri saja di depan lapangan. "Diem we didieu,liat nu maen bal" katanya. Ia cukup senang melihat orang -- orang terutama anak -- anak kelas 6 yang kala itu tengah olahraga main bola. Langit terasa panas, hawa semakin tidak enak. Aku pun pergi ke kelas untuk mengambil air minum dan kembali lagi ke tempat asal aku dan Nuha berdiam diri. Disana kami menikmati orang -- orang yang tengah bermain bola di lapang. Waktu tidak terasa dan bel masuk telah berbunyi namun rasanya aku sungguh asyik menyaksikan orang -- orang yang bermain bola kata itu. Temanku sempat ikut menyaksikan pula dan menemani kami untuk menonton. Ku tengok kelas nampak ricuh seperti nampak tampak tak ada guru. Dan katanya "Eweuh guruna ge,cenah aya urusan" katanya, temanku melontarkan pemebritahuannya itu tepat di depan wajahku. Dan rasanya semakin asyik saja untuk tetap berdiri di depan lapang menyaksikan orang -- orang yang bermain bola.

Ketika sedang asyik menonton, Nuha pun mengajakku bercanda dengan asyiknya. Semua perkataan lucunya ia lontarkan dan ia ceritakan termasuk ceritaan tentang Syifa yang kala itu tidak hadir karena sakit. Aku pun menikmati kehangat dan keseruan mengobrol dengannya. Namun dengan santai ia mengajakku bermain,namun permainan itu sungguh tak pantas dan membuat ku sakit hati.

Sebelumnya ia berbicara "Cik lamun ieu bubur di kana kepalakeun bakal bahe moalnya?" katanya kalo bubur itu di simpan di atas kepala akan tumpah atau tidak. Dia berbicara itu sambil tertawa seperti hal itu adalah kelucuan baginya. Namun bagikku itu tidak. Aku sempat memarahinya dan melontarkan kata -- kata yang dapat membuat ia jera dengan kelakuannya,namun,nampaknya itu tak berhasil ia malah semakin liar dan menjadi -- jadi. Ia malah lebih menyengajakan perbuatannya itu.

Aku pun kaget dan akhirnya yang aku duga terjadi. Dia sempat mengajakku bercanda namun itu adalah keterlaluan. Aku tak tahu pasti ia menyengajakannya atau tidak yang pasti itu adalah perbuatan yang sangat membuat sakit hati,geram dan kesal dengannya. Bubur kacang yang ia bawa tadi tumpah dan menyelimuti seluruh rambut dan baju seragamku. Aku tak kuasa menahan rasa sakit hati yang sempat aku tahan, ia nampak kaget dan mencoba meminta maaf kepadaku, namun nihil. Aku tidak sempat untuk ingin berbicara dengannya, rasanya pada kala itu rasa malu ku terumbar karena ulahnya. Banyak semua siswa yang melihatku kala itu. Rasanya aku bingung kesal geram entah aku harus apa. Sontak semua kata -- kata keluar dari bibirku. "Maaf -- maaf teu kahaja,sugan the moal kitu". Katanya maaf -- maaf dikira tidak sampai seperti itu. Aku pun tak dapat menahan rasa sakit dan langsung berlari meninggalkannya dan pergi menuju toilet. Rasanya aku sangat malu dan tidak percaya diri dengan semua penampilanku. Bubur yang menyelimutiku susah untuk dihilangkan rasanya sungguh lengket dan menjijikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun