Mengutip sekilas dari tulisan saya di kompasiana tentang bonus demografi di kompasiana sebelumnya ini, bonus demografi bisa menjadi berkah dan musibah diibaratkan seperti pedang bermata dua. Bonus demografi menjadi anugerah jika usia produktif ini berkualitas dan terserap lapangan kerja sehingga punya tabungan yang dapat digunakan untuk investasi pembangunan ekonomi jangka panjang. Namun, berkah ini bisa berbalik menjadi musibah, jika usia produktif ini tidak berkualitas dan tidak berproduktivitas. Bonus demografi ini bisa menjadi bencana dan berakibat fatal jika tidak dipersiapkan dengan baik kedatangannya sehingga dapat menjadi beban negara.
By the way, apa sih bonus demografi itu? Jika disimpulkan dalam satu kalimat, bonus demografi  adalah kondisi ledakan penduduk usia kerja dalam struktur umur masyarakat di suatu wilayah atau di suatu negara. Lebih detilnya lagi bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif (15 tahun - 65 tahun) di suatu wilayah atau di suatu negara lebih besar dari jumlah penduduk usia yang tidak produktif ( usia < 14 tahun dan usia > 65 tahun).Â
Seperti yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Itu artinya, proporsi penduduk yang produktif (yang bekerja) lebih besar dari yang tidak produktif (tidak bekerja), sehingga tingkat kebergantungan penduduk tidak produktif (anak-anak dan lansia) kepada penduduk yang produktif menjadi sangat rendah, karena setiap satu keluarga minimal bisa membantu keluarganya sendiri sehingga negara bisa menyimpan banyak devisa (saving) jika kondisi ini terus berlanjut.
Pada kesempatan kali ini, izinkan saya untuk coba kulik satu persatu-satu apa positif dan negatifnya bonus demografi di Indonesia. Negatifnya, jika tidak tersedia lapangan kerja yang cukup bagi anak-anak usia muda yang relatif memiliki energi berlimpah ini, pasti berimbas pada kesenjangan sosial yang bisa berujung pada meningkatnya tindak kriminal dan anarki seperti pencurian, perampokan, ataupun bisa juga melebar kepada penyalahgunaan narkotika dan perdagangan anak (human trafficking) untuk diekploitasi untuk menjadi pekerja seks komersial. Itu baru dari sisi ketiadaan lapangan kerja yang memadai saja lho.Â
Nah, bagaimana kalau lapangan kerjanya ada, tapi sumber daya manusianya (SDM) yang nggak kompeten, apalagi ditambah era globalisasi yang membuat dunia semakin tidak ada batasnya (no boundaries), sehingga serbuan para pekerja asing yang relatif lebih terampil (skillful) menjadi hal yang tidak bisa dihindari, kita mesti menghadapinya.
Sekarang kita lihat sisi negatifnya dari sisi kesehatan  kalau sumber daya manusia yang menjadi bonus demografi ini tidak dipersiapkan dengan baik dalam hal kesehatan (baik kesehatan fisik, kesehatan pikiran maupun kesehatan jiwanya, orang Barat menyebutnya body-mind-soul), bisa kita bayangkan banyak anak-anak muda yang kurang baik pertumbuhan badannya, kurang bisa belajar lebih lama, karena mereka kelaparan, kurang bisa bertahan (low endurance) di lapangan sepak bola selama 2 x 45 menit karena gizinya kalah jauh dengan anak-anak lainnya (bahkan diantara anak-anak Asia lainnya seperti Thailand dan Korea Selatan), itu contoh kecil untuk kesehatan fisik.Â
Dari kesehatan pikiran kita bisa ambil contoh kecil, jika bonus demografi ini failed in planning, bisa jadi banyak anak muda ini (terutama yang belum menikah) yang melakukan penyimpangan secara seksual seperti seks pra-nikah karena tiap hari disuguhi dengan berbagai macam tontonan konten pornografi, bisa juga mereka melakukan penyalahgunaan obat narkotika. Dari kesehatan jiwa (soul), jika bonus demografi ini kurang siap dalam menghadapi lika liku kehidupan yang disangat dinamis sekali dan tidak selalu mulus. Ketika jalan itu mulus dan cenderung instan, bonus demografi yang kurang matang ini bisa saja terkena penyakit tinggi hati (sombong) dan cenderung meremehkan orang lain yang menurutnya tidak setara dengannya.Â
Ketika liku itu berombak, mereka menghadapi kegagalan, tidak siap, kesehatan jiwanya tidak dilatih dengan baik, akhirnya tindakan bunuh diri bisa saja terlintas di pikirannya atau bahkan yang paling parah, tindakan ingin menghabisi nyawa orang lain. Dia lupa bahwa tindakan membunuh satu orang itu sama dengan membunuh seluruh umat manusia, dan tindakannya pasti mendapatkan konsekuensinya, baik itu di dunia (penjara) maupun di hari pengadilan dihadapan Tuhan nanti.Â
Wah, banyak juga ya kalau dilihat lagi tentang efek negatif yang bisa kita alami kalau bonus demografi ini tidak dipersiapkan dengan baik mulai dari sekarang. Bosan dengan yang negatif, sekarang kita coba beralih ke efek positif jika bonus demografi ini berhasil kita persiapkan menjadi sumber daya manusia yang baik dan kompeten.
Kabar positif yang pertama jika bonus demografi di Indonesia ini ter-planning dengan baik secara bersama-sama (kerja sama dari semua orang tua, masyarakat, sekolah dan universitas, pemerintah) dan menjadi berkah, ada kemungkinan besar kita bisa menyamai negara Jepang.