Mohon tunggu...
Annisa Nuri aulia
Annisa Nuri aulia Mohon Tunggu... mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

metode ijtihad

13 Oktober 2025   22:48 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:45 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ijtihad secara umum adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang ahli (disebut Mujtahid) untuk menetapkan hukum syara' (hukum Islam) pada suatu masalah baru yang ketentuannya tidak ditemukan secara jelas dan terperinci dalam Al-Qur'an dan Hadis . Ijtihad ini sangat penting karena seiring perkembangan zaman, banyak masalah baru muncul yang membutuhkan solusi hukum.

Sumber-Sumber Hukum Islam
Sebelum membahas metode ijtihad, perlu diketahui dulu bahwa sumber hukum Islam yang utama dan disepakati oleh mayoritas ulama adalah:

Al-Qur'an: Wahyu Allah SWT yang merupakan sumber hukum pertama dan tertinggi.

Hadis/Sunnah: Segala yang berasal dari Nabi Muhammad SAW (ucapan, perbuatan, dan ketetapan) yang berfungsi menjelaskan dan merinci hukum dalam Al-Qur'an.

Ijtihad: Kedudukannya sebagai sumber hukum ketiga, yaitu upaya penggalian hukum dari kedua sumber utama di atas jika tidak ditemukan ketentuan yang jelas.

Metode-Metode Ijtihad (Teknik Penetapan Hukum)
Ada beberapa metode utama yang digunakan dalam berijtihad, termasuk Qiyas yang Anda sebutkan:

1. Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu masalah baru yang tidak ada nash-nya (ketentuan jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis) dengan membandingkannya (menganalogikannya) kepada masalah lama yang sudah ada nash hukumnya, karena ada kesamaan 'illat (alasan/sebab) hukum.

Contoh: Hukum haramnya narkotika dianalogikan (di-qiyas-kan) pada hukum haramnya khamar (minuman keras).

Masalah baru: Narkotika.

Masalah lama: Khamar, hukumnya haram (berdasarkan nash).

'Illat (sebab/alasan) hukum yang sama: Menghilangkan akal (memabukkan).

Hasil: Narkotika dihukumi haram.

2. Ijma' (Konsensus)
Ijma' adalah kesepakatan seluruh Mujtahid (ulama yang memenuhi syarat ijtihad) pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW mengenai suatu hukum syara' pada suatu perkara. Keputusan ijma' mengikat dan tidak boleh dilanggar.

Contoh: Kesepakatan para sahabat untuk menjadikan Al-Qur'an dalam bentuk mushaf (buku) dan pembukuan Hadis.

3. Istihsan (Menganggap Baik)
Istihsan adalah berpindahnya seorang Mujtahid dari suatu hukum yang sesuai dengan kaidah umum ke hukum lain yang lebih khusus, karena ada dalil syara' yang lebih kuat dan menuntutnya, biasanya demi kemaslahatan (kebaikan) umum.

Contoh: Akad jual beli salam (pesanan/indent) yang secara kaidah umum (qiyas) dilarang karena objeknya belum ada, tetapi diperbolehkan (di-istihsan-kan) karena adanya kebutuhan masyarakat dan dalil khusus yang membenarkannya, asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi.

4. Maslahah Mursalah (Kemaslahatan yang Tidak Diatur)
Maslahah Mursalah adalah penetapan hukum yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan (kebaikan/manfaat) yang lebih besar bagi umat, di mana tidak ada dalil (nash) yang menganjurkan maupun melarangnya. Tujuannya adalah untuk menghindari kemudaratan dan mendatangkan manfaat.

Contoh: Penetapan hukum wajib membuat akta nikah atau akta kelahiran sebagai dokumen resmi negara. Meskipun tidak ada di zaman Nabi SAW, keberadaannya sangat maslahat untuk menjaga hak dan ketertiban.

5. Istishab (Meneruskan Hukum Asal)
Istishab adalah menetapkan suatu hukum yang sudah ada dan berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang pasti mengubahnya. Prinsipnya adalah "hukum itu tetap pada keadaan asalnya selama tidak ada bukti yang mengubahnya".

Contoh: Seseorang yang sudah yakin berwudu, kemudian ragu apakah ia sudah batal atau belum. Maka hukum asalnya tetap suci (sudah wudu), sampai ada bukti pasti (seperti kentut) yang membatalkannya.

6. 'Urf (Adat Kebiasaan)
'Urf adalah adat kebiasaan atau tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan diterima sebagai bagian dari pertimbangan hukum dalam urusan muamalah (hubungan sesama manusia).

Contoh: Penetapan besaran mahar (mas kawin) dalam pernikahan sering kali merujuk pada kebiasaan yang berlaku di masyarakat tertentu, selama tidak berlebihan dan memberatkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun