Mohon tunggu...
Annisaa Ganesha
Annisaa Ganesha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kumpulan Mahasiswi Ideologis

Berdakwah dengan pena digital

Selanjutnya

Tutup

Financial

Direktur Semakin Kaya

25 Mei 2020   16:52 Diperbarui: 25 Mei 2020   16:50 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Ketua Koordinator BUMN Watch, Naldy N. Haroen S.H., meminta anak cucu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak sesuai bidang usahanya ditertibkan. 

Menurut catatannya, saat ini terdapat sekitar 600-700 anak cucu perusahaan milik negara yang tidak sesuai dengan bisnis induknya. Sehingga, anak perusahaan inilah yang diduga hanya menggerogoti induk perusahaan dan akhirnya terus merugi (Rajaguguk, Kisar. "Anak Cucu Perusahaan BUMN Persulit Swasta Berkembang." Media Indonesia, 15 Desember 2019, daring).


Anak perusahaan BUMN kini banyak bertumbuh hingga memiliki cucu dan cicit perusahaan. Perampingan yang kini dilakukan adalah karena banyak anak cucu perusahaan yang hanya menguntungkan segelintir petinggi di perusahaan, namun merugikan bagi negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keuntungan perusahaan BUMN kini hanya mengalir ke kantong sekelompok elit. Salah satu perusahaan yang baru-baru ini terkuak nama-nama pemegang kantongnya adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., meski belum dikonfirmasi kebenarannya oleh Kementerian BUMN.


Negara sudah jelas merugi atas adanya anak cucu perusahaan yang tidak jelas izinnya tersebut. Seolah melakukan tambal sulam, Kementerian BUMN hanya menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-315/MBU/12/2019 yang memperketat perizinan pembentukan anak, cucu, hingga cicit perusahaan, tanpa mengurutkan permasalahan hingga ke akarnya. Semua akan sia-sia bila sistem yang dianut negara masih sistem kapitalisme, dimana harta publik menjadi sumber kesejahteraan segelintir elit.


Mari kita tinjau sistem yang sepenuhnya berbeda dengan kapitalisme, yakni sistem Islam. Dalam Islam,  harta publik diklasifikasi sebagai milkiyah ammah dan milkiyah daulah.  Milkiyah ammah meliputi sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur jalan, energi, hutan, tambang minerba), sektor ini tidak boleh dikelola selain oleh negara sendiri. Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontrak. Maka terlarang ada kontrak karya seperti pada Freeport, superbody seperti BPJS Tenaga Kerja dan Kesehatan.  Negara tidak boleh mengambil untung dari harta milik rakyat ini.  Sedangkan milkiyah daulah berupa pengelolaan bangunan, tanah, dan perkebunan. Sektor ini bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik.

Tak perlu diragukan bahwa sistem Islam menganut prinsip ekonomi: "Mengedepankan kesejahteraan seluruh rakyat agar dapat hidup berkualitas dan menunaikan ibadah dengan baik." Hal ini tentu memblokir seluruh jalan dimana sekelompok elit dapat menguasai sebagian besar harta rakyat. Apabila negara kita masih menganut kapitalisme, keputusan menteri seketat apapun tak akan menyelesaikan masalah. Sudah saatnya kita beralih kepada Islam. (Afa)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun