Sebagai seseorang yang belum menikah, mungkin banyak orang akan mengira bahwa pemahaman tentang kehidupan rumah tangga hanya bisa datang setelah pengalaman langsung. Tapi ternyata, melalui pengamatan, perenungan, dan refleksi dari lingkungan sekitar, aku justru merasa Allah memberikan pemahaman-pemahaman kecil yang semakin lama terasa makin dalam dan berarti.
Salah satu hal yang membuatku merenung adalah tentang peran dalam rumah tangga, terutama soal dominasi---siapa yang memimpin, siapa yang mengikuti. Banyak orang meyakini bahwa rumah tangga ideal adalah rumah tangga di mana laki-laki bersikap dominan.Â
Laki-laki dianggap harus menjadi sosok tegas, pemimpin mutlak, dan pengambil keputusan utama. Tapi dari apa yang kulihat dan kurasakan, ternyata dominasi yang berlebihan, meskipun dari suami, justru bisa melahirkan luka-luka yang tak terlihat.
Ketika seorang pria terlalu dominan dalam rumah tangga, tanpa sadar ia bisa membuat istrinya merasa tidak berdaya.Â
Istri merasa tidak punya ruang untuk menyuarakan pendapat, dan lambat laun bisa kehilangan harga dirinya---baik di hadapan suaminya sendiri, maupun di hadapan keluarganya.Â
Sementara jika istri yang menjadi terlalu dominan, walaupun mungkin karena kebutuhan atau ketidakhadiran kepemimpinan suami, maka ia pun mudah lelah.Â
Sebab fitrah perempuan adalah untuk dibimbing, dilindungi, dan merasa aman di bawah naungan laki-laki yang bertanggung jawab. Ketika perempuan terlalu lama berada dalam posisi memimpin, ia bisa jadi tanpa sadar merendahkan suami, dan suami pun kehilangan marwahnya sebagai kepala keluarga.
Dari sini, aku belajar bahwa rumah tangga yang sehat bukanlah soal siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih patuh. Rumah tangga yang sehat adalah tentang keseimbangan.Â
Suami seharusnya menjadi sosok yang mengayomi, yang memimpin dengan kasih, bukan menekan. Ia memberikan ruang bagi istrinya untuk tumbuh, berpendapat, dan berperan aktif dalam pengambilan keputusan.Â
Sementara istri, dalam ruang yang aman itu, memberikan rasa hormat kepada suaminya, mengikuti arahannya bukan karena takut, tapi karena percaya dan dihargai.
Aku percaya, pandangan seperti ini bukan sekadar hasil dari berpikir keras, tapi bentuk kasih sayang Allah dalam membimbing hamba-Nya.Â