[caption id="attachment_139827" align="alignleft" width="265" caption="Novel "Negeri 5 Menara" (http://mulinnuha.wordpress.com/2009/11/28/negeri-5-menara/)"][/caption] Ini dia satu lagi novel tentang perjalanan meraih mimpi. Meski mungkin sudah pernah dibahas di media massa, novel ini tetap menarik untuk dibahas dengan penuturan berbeda. Terinspirasi dari pengalaman pribadi si penulis dalam menjalani kehidupan sebagai santri (siswa) di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur. Tema yang mirip dengan "Laskar Pelangi" -dan memang penulisan novel ini diakui penulis terinspirasi dari karya Andrea Hirata tersebut- novel ini berkisah tentang kehidupan sehari-hari para santri di Pondok Madani (PM) dan persahabatan enam sahabat dalam berjuang meraih mimpi. Diawali dengan tokoh utama, Alif Fikri, yang tiba-tiba menerima pesan messenger dari seseorang yag mengaku sahabat lamanya ketika sama-sama menempuh pendidikan di PM. Obrolan antara dua sahabat lama ini pun memutar kembali rekaman memori Alif tentang bagaimana awal ia masuk ke PM. Ber-setting di sebuah nagari di Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, cita-cita Alif untuk masuk ke SMA Negeri Bukit TInggi harus dikalahkan oleh keinginan Amaknya (ibunya) agar ia melanjutkan pendidikan ke sekolah agama. Keinginan Amaknya ini kontan membuat ia kesal, karena sudah jauh-jauh hari ia bersama Randai, sahabatnya, berniat untuk masuk ke SMA favorit tersebut. Apalagi nilai ujian akhirnya mencukupi. Tapi Amak dengan dukungan dari suaminya terus berusaha untuk membujuk agar Alif mau memenuhi cita-citanya mempunyai anak yang seorang ahli agama. Alif berontak, namun di sisi lain tak kuasa menentang kehendak ibunya. Meski akhirnya ia menuruti keinginan sang ibunda, Alif tetap berusaha memenangkan egonya dengan memilih perguruan Islam di Jawa, sebagai bentuk pemberontakan agar jauh dari kedua orangtua yang dianggapnya terlalu banyak mengatur jalan hidupnya. Ide sekolah agama di pulau Jawa ini pun datang dari surat pamannya dari Timur Tengah yang menyarankan Alif masuk ke PM, karena terbukti sudah banyak lulusan hebat berasal dari sekolah ini. Maka dengan bermodal nekat dan pertimbangan yang sebenarnya belum cukup matang, ia pun memutuskan merantau belajar ke PM dengan diantar sang Ayah. Ia pun lulus tes masuk yang cukup sulit dan resmi menjadi santri PM. Hatinya yang masih gamang menghadapi dunia yang sama sekali baru membuatnya sempat menyesali keputusannya itu. Apalagi setelah ia tahu kalau disiplin di PM sangat ketat. Setiap pelanggaran bermakna sanksi, mulai dari sanksi ringan sampai sanksi paling berat, yang berarti dikeluarkan dari PM. Angan-angan indahnya sekolah di SMA pun masih membayangi setiap kali ia membaca surat dari Randai yang sekarang menjalani hari-hari yang indah di SMA Negeri Bukit Tinggi. Namun apa yang hendak dikata, waktu tak lagi bisa diputar balik. Mau tak mau ia harus belajar menjadi santri yang baik. Metode pendidikan PM yang mengajarkan disiplin dan keteraturan dalam segala hal, sempat membuat hatinya ciut. Seolah tak ada lagi kesenangan hidup yang bisa ia nikmati. Setiap hari belajar keras dan semua kegiatan sehari-hari terjadwal dengan sangat rapi. Setiap santri ditempa benar-benar untuk menjadi pelajar dan pembelajar yang berkualitas. Mulai dari belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam tempo 3 bulan, dan setelah itu para santri wajib menggunakan kedua bahasa itu bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada lagi yang namanya bahasa daerah atau bahasa Indonesia selama mereka berada di lingkungan PM. Para santri juga belajar kemampuan dan keterampilan baru dari beragam kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan. Jadi tidak hanya belajar agama saja. Mereka diajarkan tentang banyak hal setiap waktu. Lengkap dengan berbagai rintangan dan dinamikanya. Dengan metode pendidikan seperti inilah Alif kemudian mampu menemukan dan menguasai berbagai hal yang sebelumnya tak terbayangkannya. Ia pun mulai menikmati hari-harinya di PM bersama sahabat-sahabat baiknya yang senantiasa saling mendukung dan menguatkan satu sama lain; Raja, Baso, Atang, Said, dan Dulmajid. Mereka berenam biasa duduk di basecamp mereka, di bawah menara masjid PM. Setiap sore menjelang maghrib mereka berkumpul di tempat itu untuk sekedar mengobrol tentang kegiatan yang mereka lalui hari itu dan tentang mimpi-mimpi mereka. Awan yang berarak di langit sore membentuk imajinasi mereka masing-masing. Ada yang melihat sebagai benua Amerika, benua Eropa, benua Afrika, benua Asia atau hanya Indonesia. Kelak, mereka berenam berhasil menjemput mimpinya masing-masing di tempat yang pernah mereka khayalkan melalui awan sore itu. Perjalanan menuju mimpi itu lah yang penuh dinamika. Kehidupan di PM yang mulai dapat ia nikmati tak serta merta membuat bayangan Alif tentang cita-cita terpendamnya untuk kelak kuliah di Universitas non agama pupus begitu saja. Surat-surat Randai yang tak pernah absen menyapanya dengan segala keberhasilan yang diraihnya tak urung membuatnya kembali gamang dengan jalan yang ditempuhnya. Apalagi sahabatnya yang cerdas dan hafiz (penghafal) Al-Quran, Baso, mengundurkan diri dari pendidikan PM karena harus kembali ke kampung halamannya di Sulawesi, mengurus neneknya yang sebatang kara dan mulai sakit-sakitan. Pikiran ingin keluar di tahun terakhirnya di PM pun menghantui benaknya. Apakah ia akan mengikuti langkah Baso?. Secara umum, novel ini juga sejenis dengan novel pembangun jiwa lainnya, sarat makna dan hikmah. Membangkitkan semangat dan bertabur inspirasi bagi para pembacanya. Dari novel ini terlihat bagaimana sesungguhnya wajah pondok pesantren yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap eksklusif, kuno, sempit dan hanya mempelajari ilmu agama. Benih-benih keikhlasan ditanamkan sedemikian rupa pada benak-benak santrinya agar dapat menjadi manusia yang tulus mengabdi dan bermanfaat bagi sesama, menjadi "Rahmatan Lil'alamiin", rahmat bagi semesta alam. Semangat juang untuk menggapai mimpi pun dikobarkan setiap waktu melalui motto "Man Jadda Wajada", siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses. Maka tak heran, sekeluarnya para santri ini dari PM, mereka menjelma menjadi manusia-manusia unggulan yang menebar manfaat bagi masyarakat dan tersebar di berbagai penjuru dunia. Cerita-cerita dengan bahasa yang lugas dan mengalir membuat novel ini nikmat untuk dibaca. Cukup banyak kosa kata baru yang langka digunakan dan justru menjadikan novel ini kaya bahasa dan tidak monoton. Sesekali terselip kata-kata dalam bahasa Arab, sehingga pembaca sedikit banyaknya ikut mempelajari bahasa ini. Kalimat-kalimat yang tersaji seolah menari-nari memainkan imajinasi pembaca. Tak heran, karena penulis novel ini adalah seorang jurnalis, mantan wartawan Tempo dan VOA, yang kini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi. Keterangan buku: Judul           : Negeri 5 Menara, sebuah novel yang terinspirasi kisah nyata Penulis         : A. Fuadi Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama Tanggal Terbit    : Juli, 2009 Jumlah Halaman : 432 >> Cerita lebih jauh tentang penulis dan novelnya ini dapat disaksikan di program "Kick Andy" Metro TV besok malam, 14 Mei 2010, pukul 21.30 WIB.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI