Apakah pembaca pernah punya jenis bangunan yang selalu membuat hati bergetar setiap kali melihatnya? Bagi saya, bangunan bergaya kolonial adalah salah satunya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan, Â semacam getaran lembut yang muncul setiap kali mata saya menangkap dinding tebal berwarna putih, jendela besar berdaun kayu, dan teras luas yang teduh.
Sejak kecil, setiap kali bepergian dari rumah nenek saya ke kota saya, kami melewati daerah perkebunan. Saya selalu menatap kagum rumah-rumah peninggalan Belanda yang berdiri tenang di antara pepohonan. Dalam hati saya sering berbisik, "Suatu hari aku ingin masuk ke salah satu rumah itu." Entah mengapa, bayangan tinggal di rumah seperti itu terasa begitu hangat dan damai, seolah saya pernah mengenalnya di kehidupan lain.
Beberapa tahun kemudian, impian kecil itu terwujud dengan cara yang tak terduga. Seorang teman yang bekerja di perkebunan mengundang kami berkunjung ke rumahnya; salah satu bangunan kolonial yang dulu hanya bisa saya lihat dari kejauhan. Saat melangkah masuk, aroma kayu tua dan cahaya lembut yang menembus kaca jendela besar menyapa saya seperti kenangan lama. Hati saya bergetar. Saya terdiam cukup lama di ruang tamu, membiarkan diri terserap oleh suasana masa lalu yang begitu nyata. Seolah mimpi masa kecil saya tiba-tiba hidup kembali dan berkata, "Lihat, akhirnya kamu sampai juga."
Nostalgia Rumah NenekÂ
Saya lahir dan dibesarkan di rumah nenek saya. Rumah nenek saya adalah bangunan tua yang kokoh, terbuat dari batu dan papan berkualitas tinggi. Langit-langitnya tinggi, udara di dalam rumah terasa sejuk, dan kamarnya luas membuat napas terasa lega. Terasnya lapang, tempat yang sempurna untuk duduk menikmati teh sambil memandangi jalan dan orang-orang yang lewat. Halaman rumahnya rapi, penuh tanaman hias dan pohon buah. Furniturnya masih sama seperti dulu, dibeli langsung oleh kakek dan nenek saya. Usianya puluhan tahun, tapi kualitas dan kilaunya tetap sama. Mungkin dari sanalah rasa kagum itu tumbuh. Setiap kali melihat rumah tua, hati saya seperti diajak pulang.
Kembali ke Masa Lalu di Tengah Kota Bandung
Saat ini saya sedang duduk di sebuah kafe yang berada di salah satu pusat bahasa asing di Bandung. Kafe ini juga sangat vintage; furnitur dan tata ruangnya mengingatkan saya pada suasana kafe di Prancis. Di dindingnya terpajang foto-foto lama yang klasik, sementara alunan musik jazz lembut mengisi udara dengan tenang.
Bangunan tempat belajar bahasa di area ini masih mempertahankan arsitektur masa kolonial. Di depan pagarnya, deretan pohon tinggi berdiri teduh, menciptakan suasana yang menyentuh lapisan emosi terdalam saya: perpaduan antara kekaguman dan rasa damai yang sulit digambarkan. Yang membuat saya kagum, bangunan bersejarah ini tetap kokoh berdiri di tengah hiruk pikuk pusat perbelanjaan dan gedung-gedung modern di sekitarnya, seakan menjadi saksi bisu perjalanan waktu.
Sering kali saya merasa sedih ketika melihat bangunan kolonial diubah total menjadi kafe modern tanpa mempertahankan jiwanya. Seolah sejarah dihapus demi tren. Mungkin karena itu, setiap kali saya menemukan tempat yang masih setia menjaga bentuk dan atmosfer aslinya, hati saya merasa lega; seperti bertemu sahabat lama yang tak berubah.