Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(36)

18 Agustus 2014   22:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14083165841896435928

Sayang dua abad setelah  Maharaja Rake Sanjaya mangkat, kerajaannya kembali terpecah-pecah. Di sisi barat Sungai Bhagalin, kembali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali. Sedangkan wilayah di sisi timur Sungai Bhagalin, kembali dikuasai oleh para raja yang menganut agama Buddha dan Waisnawa. Mereka adalah para keturunan Dinasti Syailendra yang leluhurnya berasal dari Palembang dengan dinasti raja-raja dari Galuh Lor. Memang sebelum mendarat sebagai pengungsi di pulau ini, bangsa Galuh Lor itu mendarat lebih dulu di muara Sungai Musi. Sisanya melanjutkan perjalannya ke arah tenggara. Akhirnya mereka mendarat di muara sungai Lampir yang berhulu di kaki Gunung Perahu.

“Keturunan mereka itulah yang kelak dikenal oleh para pedagang dari luar Nusantara ini  sebagai Bangsa Jawa. Mereka berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan besar juga. Antara lain Kerajaan Wangsa Isyana yang didirikan oleh Dharmawangsa, Kerajaan Kahuripan di bawah Erlangga yang menyembah Dewa Wisynu, dan Kerajaan Kediri yang juga menyembah Wisynu. Kemudian  Kerajaan Singasari yang menyembah Dewa Syiwa tetapi mengakui agama Buddha Tantrayana dan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu aliran  Syiwa-Budha Tantrayana,” kata Sri Baginda saat itu kepada ke empat putranya. Semua penjelasan ayahnya itu masih diingatnya dengan baik oleh Raden Kamandaka.

“Kini Majapahit sudah runtuh dan muncul dua kerajaan baru yang saling bersaing. Pertama Kerajaan Hindu  Kediri yang merupakan penenerus Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan yang telah runtuh. Kerajaan Hindu Kediri ini, seperti halnya Majapahit, beragama Hindu aliran Syiwa-Buddha Tantrayana. Rajanya bernama Rana Wijaya, keturunan terakhir Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Rana Wijaya ini, dikenal oleh rakyatnya sebagai Raja Brawijaya,” kata Sri Baginda saat itu .

“Kerajaan kedua yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah Kerajaan Demak yang berdiri di dekat pantai utara, tidak jauh dari Gunung Muria,” lanjut Sri Baginda. “Kerajaan Demak ini, menganut agama Islam. Jika agama Hindu dan Buddha berasal dari tanah India atau Hindustan, maka agama Islam berasal dari tanah Jazirah Arab. Baik Kerajaan Islam Demak maupun Kerajaan Hindu Kediri, saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah peninggalan Kerajaan Majapahit yang telah runtuh itu. Rupanya perebutan pengaruh dan wilayah antara kedua kerajaan itu juga melebar sampai masuk ke wilayah Lembah Ciserayu yang berada di sisi barat Sungai Bhagalin.”

“Kadipaten Pasirluhur adalah kadipaten yang sempat dibangun kembali oleh Kerajaan Galuh Kawali setelah kerajaan peninggalan  Maharaja Rake Sanjaya itu pecah. Kini Kadipaten Pasirluhur  itu menjadi satu-satunya ujung tombak untuk menghadapi ekspansi perluasan wilayah dua kerajaan yang saling bersaing , yakni Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri,” ujar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengakhiri ceriteranya.

Kisah yang diceriterakan ayahandanya itu segera lenyap , ketika dalam perjalannya menyelusuri lorong rahasia bawah tanah,  tiba-tiba Raden Kamandaka  sampai  di ujung lorong yang semakin menyempit. Akhirnya Raden Kamandaka melihat  sebuah sungai.

“Sungai apakah itu?” tanya Raden Kamandaka sambil menduga-duga.  ”Sungai Ciserayukah? Tidak mungkin. Sungai Ciserayu harus lebih besar dari Sungai Logawa.”

Dugaan Raden Kamandaka ternyata benar. Sungai itu bukan Sungai Ciserayu. Sungai itu adalah sungai Banjaran yang bermuara di Sungai Logawa. Raden Kamandaka segera meloncat terjun ke dalamnya meninggalkan  mulut lorong rahasia. Dari sana Raden Kamandaka terus berenang ke muara Sungai Banjaran yang  membawanya tiba kembali di Sungai Logawa.

“Tidak lama lagi pasti  Sungai Logawa ini akan berakhir di Sungai Ciserayu,” kata Raden Kamandaka di dalam hati. Dia melihat sinar matihari  diatasnya. Nampak bayangan dirinya sendiri bergoyang-goyang di dalam air sungai yang jernih itu. Raden Kamandaka membiarkan dirinya hanyut terbawa aliran air ke arah hilir. Sebagai seorang perenang hebat, baginya bukan persoalan sulit  berenang dengan gaya punggung mengikuti aliran sungai, sampai akhirnya  Raden Kamandaka tiba di muara Sungai Logawa. Raden Kamandaka segera menepi. Dia telah tiba di tepi sungai besar.

“Inilah dia Sungai Ciserayu. Sungai terpanjang di Jawa yang mengalir ke lautan paling selatan, Lautan Nusantara,” kata  Raden Kamandaka sangat yakin dengan pendapatnya.

Dengan mudah Raden Kamandaka berjalan ke arah timur dan sampailah  di tempat terbuka. Dipandangnya air  Sungai Ciserayu yang mengalir tak beriak di depannya. Pada saat menatap sungai yang ada didepannya yang lebar, besar, panjang dengan struktur tebing-tebingnya yang nampak kokoh dan kuat itu, Raden Kamandaka segera ingat kepada Maharaja Rake Sanjaya. Dialah Sang Putra Sungai yang membangun Kerajaan Mataram yang besar, di hulu Sungai Ciserayu yang besar yang airnya tak kenal lelah menyusuri jalan yang panjang menuju lautan yang besar, pikir Raden Kamandaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun