Mohon tunggu...
Anjar Setyaningrum
Anjar Setyaningrum Mohon Tunggu... Universitas PGRI Kanjuruhan Malang

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ikon, Indeks, dan Simbol: Konsep Tanda ala Pierce

4 Oktober 2025   14:20 Diperbarui: 4 Oktober 2025   14:20 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika berbicara tentang ilmu tanda atau semiotika, nama Charles Sanders Peirce tidak pernah bisa dilewatkan. Filsuf dan logikawan asal Amerika Serikat ini sering disebut sebagai salah satu pendiri utama semiotika modern, bersama Ferdinand de Saussure. Namun, jika Saussure lebih banyak membicarakan tanda dalam kerangka linguistik, Peirce justru membawa kajian tanda ke wilayah yang lebih luas, mencakup segala bentuk proses pemaknaan. Menurutnya, tanda tidak hanya terbatas pada bahasa, tetapi juga hadir dalam gambar, simbol, gerak tubuh, bahkan dalam fenomena alam yang kita tafsirkan.

Peirce memandang tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain di dalam pikiran. Artinya, tanda selalu melibatkan hubungan triadik, yakni antara tanda itu sendiri, objek yang diwakilinya, dan interpretasi yang lahir dalam benak manusia. Hubungan ini dikenal dengan istilah semiosis. Dengan cara ini, tanda menurut Peirce tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam jaringan makna yang terus bergerak.

Menurut Peirce, tanda bisa dibagi ke dalam tiga komponen utama. Pertama adalah representamen, yaitu bentuk fisik dari tanda yang bisa kita tangkap secara indrawi. Representamen ini bisa berupa kata, gambar, suara, atau apapun yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu. Kedua adalah object, yakni hal atau konsep yang diacu oleh tanda tersebut. Ketiga adalah interpretant, yaitu makna atau pemahaman yang muncul di benak kita ketika melihat tanda itu. Ambil contoh sederhana, gambar rambu lalu lintas bergambar sepeda motor. Gambar itu adalah representamen, kendaraan bermotor roda dua yang dirujuk adalah objeknya, sedangkan pemahaman bahwa jalan itu diperuntukkan bagi sepeda motor adalah interpretant-nya. Jadi, tanda menurut Peirce tidak hanya bicara soal bentuk dan arti seperti yang ditegaskan Saussure, tetapi juga menekankan proses penafsiran yang terus berlangsung.

Dari sini, Peirce kemudian mengklasifikasikan tanda menjadi tiga jenis, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan langsung dengan objeknya. Contohnya foto seseorang yang merepresentasikan wajah orang itu, atau gambar peta yang menyerupai wilayah tertentu. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat atau keterkaitan nyata dengan objeknya. Misalnya asap yang menandakan adanya api, atau jejak kaki yang menunjukkan seseorang baru saja lewat. Sedangkan simbol adalah tanda yang hubungannya dengan objek bersifat konvensional dan berdasarkan kesepakatan sosial. Bahasa adalah contoh paling jelas dari simbol, sebab tidak ada hubungan alamiah antara kata "air" dengan benda cair itu, tetapi semua penutur bahasa Indonesia memahaminya demikian.

Tiga kategori tanda ini membantu kita melihat bahwa pemaknaan dalam kehidupan sehari-hari bisa terjadi dengan cara yang sangat beragam. Saat melihat ikon, kita memahami makna karena kemiripannya. Saat melihat indeks, kita menangkap makna melalui hubungan kausal atau faktual. Sementara pada simbol, kita memahami makna karena aturan dan kesepakatan yang kita anut bersama sebagai komunitas. Dengan kerangka ini, Peirce berhasil memperluas cakupan semiotika jauh melampaui batas linguistik semata, sehingga hampir semua aspek kehidupan bisa dianalisis sebagai sistem tanda.

Konsep tanda Peirce juga menunjukkan bahwa makna tidak bersifat statis. Proses semiosis selalu melibatkan interpretasi baru yang bisa berkembang tanpa henti. Interpretant yang muncul dari sebuah tanda bisa memunculkan tanda baru yang memicu interpretasi berikutnya, sehingga rantai pemaknaan ini tidak pernah benar-benar berakhir. Ambil contoh sederhana: ketika seseorang melihat bendera merah putih, ia menafsirkannya sebagai simbol negara Indonesia. Namun, interpretasi ini bisa berkembang menjadi rasa kebanggaan, semangat patriotisme, atau bahkan memicu perdebatan tentang nasionalisme. Dari satu tanda yang sama, lahir beragam interpretasi tergantung pengalaman, konteks, dan latar belakang budaya.

Pemikiran Peirce ini sangat berpengaruh dalam berbagai bidang ilmu. Dalam ilmu komunikasi, kerangka ikon, indeks, dan simbol digunakan untuk menganalisis bagaimana pesan disampaikan dan ditafsirkan. Dalam seni dan sastra, konsep semiosis membantu memahami bagaimana sebuah karya bisa menimbulkan berbagai tafsir. Bahkan dalam kajian budaya populer, teori Peirce dipakai untuk membaca fenomena seperti iklan, film, hingga meme internet. Misalnya, sebuah meme wajah tokoh kartun yang dipakai untuk menggambarkan rasa lelah bisa menjadi ikon karena menampilkan ekspresi kelelahan, sekaligus simbol karena hanya dimengerti melalui kesepakatan warganet dalam konteks tertentu.

Meskipun demikian, teori tanda Peirce tidak lepas dari tantangan. Kompleksitas hubungannya membuat konsep ini kadang terasa abstrak dan sulit dipahami. Banyak orang lebih mudah mengerti gagasan Saussure yang sederhana tentang penanda dan petanda. Namun, justru karena kerumitannya, teori Peirce dianggap lebih fleksibel untuk menjelaskan realitas yang dinamis dan penuh perbedaan tafsir. Jika Saussure menekankan struktur yang relatif tetap, Peirce menekankan proses interpretasi yang terus berlangsung.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya sering berhadapan dengan tiga jenis tanda ini tanpa sadar. Ketika melihat ikon kamera di ponsel, kita langsung tahu itu adalah tombol untuk memotret. Ketika melihat indeks berupa jamur yang tumbuh di tembok, kita tahu ada kelembapan berlebih di ruangan itu. Dan ketika membaca simbol seperti huruf "STOP" di jalan, kita tahu ada aturan yang harus dipatuhi. Semua contoh ini memperlihatkan bagaimana tanda selalu hadir di sekitar kita, membantu kita menafsirkan dunia, dan membentuk cara kita berinteraksi dengan lingkungan maupun orang lain.

Pada akhirnya, konsep tanda menurut Charles Sanders Peirce mengajarkan bahwa makna adalah hasil proses yang tak pernah selesai. Tanda selalu bergerak dari representamen ke objek, lalu menghasilkan interpretant yang bisa melahirkan tanda baru. Pemikiran ini memberi kita cara pandang yang lebih luas tentang komunikasi, tidak hanya terbatas pada bahasa, tetapi juga pada segala sesuatu yang bisa kita tangkap, tafsirkan, dan maknai. Dengan demikian, semiotika Peirce membantu kita menyadari bahwa hidup kita sesungguhnya dipenuhi oleh tanda-tanda yang terus berbicara, bahkan dalam hal-hal kecil yang sering kali tidak kita sadari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun