Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BBN), hingga 3 Agustus, 300 korban jiwa telah tercatat di seluruh negeri, termasuk 162 di Punjab dan 70 di KP. Dari jumlah tersebut, 140 adalah anak-anak, 103 laki-laki dewasa dan 57 perempuan dewasa. Lebih dari separuh kematian terkait dengan rumah yang runtuh. Banjir juga melukai lebih dari 700 orang dan merusak lebih dari 1.600 rumah, lapor situs web Prevention Web.
Untuk menganalisis apakah dan sejauh mana perubahan iklim yang disebabkan manusia mengubah kemungkinan dan intensitas curah hujan tinggi yang menyebabkan banjir, yang menyebabkan kerusakan dan mengakibatkan korban jiwa, para ilmuwan dari Pakistan, Swedia, Denmark, Inggris dan AS menggunakan metode yang diterbitkan dan ditinjau sejawat untuk melakukan studi atribusi kejadian.
Pola curah hujan monsun di Pakistan utara dibentuk oleh topografi yang kompleks dan variabilitas musiman. Untuk menilai dampak menyeluruh dari hujan lebat yang terus-menerus sejak awal musim monsun 2025, kami mengkaji akumulasi curah hujan maksimum 30 hari selama musim Juni-September (JJAS), dengan fokus pada wilayah studi yang mencakup distrik-distrik yang paling terdampak di provinsi Punjab dan KP di Pakistan, termasuk kota Islamabad, Rawalpindi, Chakwal, Faisalabad, Peshawar dan Lahore.
Saat artikel ini ditulis, hujan monsun lebat sedang berlangsung di wilayah tersebut dan dampaknya diperkirakan akan terus berlanjut. Tren curah hujan jangka panjang serupa untuk setiap bulan di musim monsun, yang berarti hasil ini dapat diterapkan secara luas pada curah hujan lebat yang terus berlanjut.
Pada tanggal 27 Juni, tragedi Sungai Swat merenggut 13 anggota keluarga. Hujan deras memicu luapan danau glasial dan penyumbatan jalan besar-besaran, mengisolasi masyarakat dan merusak ratusan rumah, sekolah, jembatan dan jalan. Tim SAR 1122 dan PDMA memimpin upaya bantuan, tetapi pemulihan belum tuntas ketika banjir melanda di bulan Agustus.
Menurut Indeks Risiko Iklim Global Germanwatch, Pakistan masih berada pada risiko yang lebih tinggi dan termasuk di antara negara-negara paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia. Banjir tahun 2022 merupakan tragedi nasional yang merenggut lebih dari 1.700 nyawa dan menyebabkan kerugian lebih dari AS$30 miliar menurut beberapa perkiraan, ungkap The Express Tribune.
Seluruh distrik terendam, tanaman-tanaman hancur dan infrastruktur yang telah dibangun selama puluhan tahun, hanyut dalam hitungan hari.
Kerentanan KP terhadap perubahan iklim diperparah oleh keunikan geografinya. Provinsi ini merupakan rumah bagi sebagian Pegunungan Hindu Kush, wilayah yang memiliki beberapa gletser terbesar di dunia. Gletser-gletser ini lebih dari sekadar keajaiban alam; mereka merupakan sumber air penting bagi jutaan orang.
Namun, kenaikan suhu global mencairkannya dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Hal ini telah menciptakan ribuan danau glasial, banyak di antaranya tidak stabil. Danau-danau ini menimbulkan risiko banjir luapan danau glasial (GLOF), yaitu gelombang air yang tiba-tiba dan kuat yang dapat melenyapkan apa pun yang dilaluinya.
Kita telah menyaksikan bahaya ini. Pada tahun 2022, sebagian Gletser Mankial di Swat pecah, menyebabkan kerusakan di hilir. Di Lembah Broghil di Chitral, dekat Koridor Wakhan yang menghubungkan Pakistan dengan Afghanistan dan Asia Tengah, gletser mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan dan para ahli memperingatkan konsekuensi bencana. Satu letusan besar saja dapat menghancurkan wilayah yang luas, menyapu bersih rumah, lahan pertanian dan infrastruktur penting di kedua sisi perbatasan.
Jika terorisme membutuhkan jaringan keamanan yang kuat, perubahan iklim membutuhkan sistem peringatan dini yang sama kuatnya. Secara global, sistem ini telah terbukti menjadi penyelamat, memberi masyarakat waktu berharga, bahkan beberapa menit, untuk mengungsi sebelum bencana terjadi.