Mohon tunggu...
Anisya Shifa
Anisya Shifa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga

Ikhtiar semaksimalnya, tawakkal seleganya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konflik Hijau di Raja Ampat: Pertambangan Nikel dan Tantangan Aksi Iklim

25 Agustus 2025   22:36 Diperbarui: 25 Agustus 2025   22:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sustainable Development Goals (SGDs) ke-13: Climate Action  menyerukan agar semua negara untuk segera mengambil tindakan nyata untuk menghadapi perubahan iklim dan dampaknya. Indonesia, negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memandang pengembangan industri nikel sebagai kontribusi langsung terhadap tujuan ini, karena nikel digunakan sebagai bahan utama baterai dalam kendaraan listrik yang diharapkan mampu mengurangi emisi karbon global.

            Namun, di balik ambisi tersebut muncul konflik besar, yaitu eksploitasi nikel yang justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang bertentangan dengan tujuan SDGs 13. Deforestasi, pencemaran laut, dan degradasi lingkungan akibat pertambangan nikel telah terjadi di Sulawesi, dan kini mengancam Raja Ampat yang merupakan sebuah wilayah dengan status konservasi dunia yang sangat penting.

            Konflik ini menunjukkan paradoks yang cukup signifikan dalam implementasi SDGs 13 di Indonesia. Di satu sisi, nikel sangat dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi bersih dan menekan emisi. Tetapi di sisi lain, praktik penambangan yang tidak berkelanjutan justru memperparah krisis iklim dan mengancam keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, konflik pertambangan nikel di Raja Ampat adalah masalah penting yang harus segera diselesaikan jika Indonesia ingin benar-benar sejalan dengan spirit SDGs 13, yakni aksi iklim yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada generasi mendatang.

            Seiring peralihan ke energi bersih, permintaan nikel dunia terus meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh International Energy Agency (IEA), tercatat bahwa penjualan kendaraan listrik mencapai lebih dari 2 juta unit pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat hingga 14 juta unit pada tahun 2030. Kebutuhan nikel untuk produksi baterai meningkat sebagai akibat dari lonjaknya harga nikel di Indonesia. (Naryono, 2023)

            Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan ratusan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 293 IUP nikel di Sulawesi dengan luasan konsesi mencapai 639 ribu hektar. Di sisi lain, Raja Ampat juga dilirik karena potensi cadangan nikel di Pulau Gag. Namun, berbeda dengan wilayah Sulawesi yang relatif luas, Raja Ampat merupakan kawasan pulau kecil dengan ekosistem laut yang sangat rapuh. Dalam konteks ekonomi, pertambangan mungkin membawa devisa dan lapangan kerja, tetapi biaya ekologis yang harus dibayar sangat tinggi. (Amalia Wijaya et al., 2025)

            Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, 537 spesies karang, dan ratusan biota laut lainnya. Selain itu, wilayah seluas lebih dari 1 juta hektare ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). Dengan status tersebut, aktivitas ekstraktif seperti tambang secara prinsip dilarang.

            Penambangan nikel, khususnya metode tambang terbuka, berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang:

  • Deforestasi, penggundulan hutan di pulau kecil akan menghilangkan fungsi resapan air, memicu longsor, dan erosi.
  • Pencemaran laut, limbah tambang berpotensi mencemari ekosistem terumbu karang yang menjadi jantung kehidupan laut.
  • Kehilangan mata pencaharian masyarakat lokal, nelayan dan petani pesisir berisiko kehilangan sumber penghidupan karena rusaknya ekosistem.

            Studi etika lingkungan menegaskan bahwa kerusakan di Raja Ampat tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi jangka pendek. Kerugian ekologis yang hampir mustahil direstorasi menegaskan bahwa pertambangan di kawasan ini tidak layak secara moral maupun teknis. (Sani & Syamsuddin, 2025)

            Dalam perspektif hukum, kasus Raja Ampat mencerminkan lemahnya implementasi prinsip negara hukum. Proses perizinan tambang dilakukan tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat adat dan pemerintah daerah, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Minerba dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup. (Amalia Wijaya et al., 2025)

            Selain itu, UU No. 1 Tahun 2014 melarang penambangan di pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km, sementara Pulau Gag hanya seluas 60 km. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga mempertegas larangan tersebut. Fakta bahwa izin pernah diberikan menunjukkan adanya kesenjangan serius antara norma hukum dan implementasi di lapangan, yang tidak jarang disebabkan oleh korupsi atau regulatory capture. (Sani & Syamsuddin, 2025)

            Pertambangan di Raja Ampat bertentangan dengan prinsip etika lingkungan:

  • Respect for Nature, alam memiliki nilai nitrinsik yang tidak boleh diperlakukan sekadar sebagai komoditas.
  • Intergenerational Justice, generasi mendatang berhak menikmati lingkungan yang sehat, bukan menanggung beban kerusakan ekologis akibat eksploitasi hari ini.
  • Precautionary Principle, jika terdapat risiko kerusakan serius, maka tindakan pencegahan harus diambil, bahkan sebelum bukti ilmiah lengkap tersedia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun