Mohon tunggu...
Anistia Patma
Anistia Patma Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis yang suka masak dan foto-foto.

Suka menulis sejak mulai bisa menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerita untuk Anak] Najwa dan Para Pengamen Cilik

18 Januari 2020   07:00 Diperbarui: 18 Januari 2020   08:36 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Najwa menaiki bus yang sudah siap akan berangkat mengantarnya menuju sekolahnya. Jam di tangannya menunjukkan pukul 07.00 WIB, sudah hampir terlambat masuk ke kelasnya.

Saat bis mulai berjalan, seorang pengamen cilik mulai berjalan maju ke depan. Dengan percaya dirinya ia memberi salam kepada para penumpang, yang kebetulan sedang sepi. Kemudian dengan suara cempreng khas anak-anak, ia menyanyi. Beberapa lagu ia nyanyikan, yang semuanya sayangnya lagu dewasa. Tentu saja karena penumpang bus tersebut rata-rata memang orang dewasa. Atau memang karena hanya lagu dewasa yang akan didengar oleh penumpang.

Setelah menyanyinya selesai, ia menghampiri satu persatu deretan kursi penumpang. Menyodorkan plastik bekas permen yang telah usang. Kemudian ia duduk di kursi seberang kursi Najwa, masih deretan yang sama. Semua penumpang telah ia mintai uang, waktunya ia menghitung penghasilam yang ia terima dari bus ini.

“Mau kerja ya Kak?”tanyanya polos. Karena gak ada siapa-siapa di deretan kursinya, Najwa tau hanya ia yang ditanya.

“Gak,”jawab Najwa singkat, sedikit berhati-hati.”Apa dia gak liat baju yang aku pakai baju seragam?”Najwa bergumam dalam hati.

“Kakak saya kerja juga di Pabrik Sepatu. Tiap hari berangkat pagi pulang malem. Gajinya gede, tapi dia udah nikah. Kakak kerja aja di Pabrik sepatu kaya Kakak saya,”ceritanya seolah tidak mendengar jawaban Najwa.

“Tapi saya tinggal sama orang tua saya. Kerjanya pemulung. Makanya saya gak sekolah. Gak ada biaya buat bayarnya. Mending ngamen bisa buat jajan sama bantu orang tua,”Sambung pengamen cilik itu. Tetiba si pengamen cilik memperhatikan baju Najwa.

“Oh Kakak sekolah ya? Enak ya Kak bisa sekolah,”ungkapnya dengan nada memelas.

Najwa hanya tersenyum.

***

Hari ini Najwa benar-benar terlambat berangkat ke sekolahnya. Tidak akan banyak penumpang yang setujuan dengannya. Biasanya ia akan se-bis dengan anak-anak dari sekolah lain jika berangkat tepat waktu. Kalau sudah terlambat begini, hanya orang-orang yang bepergian saja yang bakal bareng dengannya.

Tapi untunglah, bis yang dinaiki Najwa langsung berangkat begitu ia duduk. Mungkin mengerti dengan keadaannya. Tidak berapa lama, seorang pengamen berusia sekitar 10 sampai 13 tahun maju ke depan bis. Tapi bukan pengamen yang kemarin. Tapi entah kenapa Najwa sadar, lagu yang dinyanyikan mirip dengan pengamen yang kemarin.

Sama seperti kemarin, setelah selesai menghampiri semua penumpang, pengamen cilik itu duduk di deret kursi paling belakang, deret kursi favourit Najwa, mulai menghitung uangnya.

“Ngamen sekarang dapetnya sedikit. Banyak saingannya. Tapi enakan ngamen dibanding sekolah. Ngamen mah dapet duit, sekolah mah ngabisin duit. Padahal orang tua saya sakit-sakitan, jadi gak bisa cari uang,”ceritanya entah kepada siapa, namun hanya Najwa yang berada di deretan kursi itu.

Najwa sedikit tersinggung. Ia sedang memakai baju sekolah sekarang.

“Yah karena itu, saya harus cari uang buat orang tua saya. Buat adik saya, buat makan kita. Kalau gak siapa lagi yang nyari,”lanjutnya sambil menengok ke arah Najwa. Ada guratan kesedihan di mata pengamen cilik itu.

“Semangat ya dek,”ujar Najwa  dengan suara pelan namun benar-benar bersemangat.

***

Lama sekali bis yang menuju ke kotanya datang. Rasanya sudah berjam-jam dia menunggu di halte sekolahnya, namun tak satupun bus yang ia maksud lewat. Membuat Najwa dengan emosi berikrar dalam hati, kalau ada bus yang dateng harus naik apapun keadaanya. Najwa bersekolah di kota tetangga, disebabkan tak ada sekolah kejuruan yang ingin ditujunya di kotanya.

Mungkin ikrarnya makbul, tak sampai lima menit bus yang ditunggunya datang. Najwa bergegas naik. Dan ia kaget, karena bus sudah dalam keadaan penuh. Terpaksa ia harus duduk di undakan bus jika ingin tetap duduk. Sedikit menyesal ia tadi berikrar. Namun ia hanya bisa pasrah. Dengan tas tenteng tambahan yang berisi beberapa boneka yang tadi diberikan teman-temannya, Najwa benar-benar kerepotan dengan posisinya sekarang.

Seorang pengamen tengah bernyanyi saat Najwa naik tadi. Pengamen cilik berusia belasan tahun seusia adiknya. Mungkin masih seumuran dengan pengamen cilik yang kemaren-kemaren Najwa temui.

Sambil menikmati pemandangan yang disajikan kaca depan mobil, Najwa mendengarkan nyanyian pengamen itu. Masih saja lagu yang mirip-mirip dengan yang kemaren.

“Apa mereka temenan kali ya,”pikir Najwa.

Pengamen itu turun begitu bus berhenti di pemberhentian bus, hanya pemberhentian liar. Tidak seperti kemaren, ia belum menghitung uangnya. Beruntung bagi Najwa, sebagian penumpang juga ikut turun di pemberhentian itu. Sepertinya mereka telah sampai di tujuannya. Najwa akhirnya pindah duduk di kursi kosong terdekat.

Najwa melihat keluar jendela, sepertinya ia haus. Ia ingin sekali membeli minuman yang ada di warung di pemberhentian itu, namun takut bus akan jalan. Najwa menimbang-nimbang sejenak, lalu akhirnya memutuskan keluar dari bus dan membeli minuman.

Najwa tak sengaja melihat pengamen cilik yang baru saja keluar dari busnya tadi, dihampiri oleh pengamen yang usianya lebih tua darinya. Mungkin seusia Najwa. 

Terlihat dari gerak-geriknya dengan kasarnya pengamen yang lebih tua itu meminta uang kepada pengamen cilik tadi. Dan dengan ketakutan, ia menyerahkannya.

Walaupun sempat menolak, namun pengamen cilik tadi terdesak karena terus  diancam. Kemudian pengamen yang lebih tua itu mendorong pengamen cilik itu hingga terjatuh. Entah terdorong oleh apa, tiba-tiba Najwa berteriak.

“Hei,”suara lantangnya tak sengaja berbarengan dengan suara beberapa pengamen cilik dan remaja lainnya yang ada di dekatnya. Mereka sama-sama meneriaki pengamen yang memalak pengamen cilik tadi. Spontan pengamen dewasa yang memalak tadi kaget dan berlari menjauh.

“Kamu gak papa?”tanya Najwa sambil menghampiri pengamen cilik yang terjatuh tadi.

“Gak papa Kak,”jawabnya.”Tapi uang saya diambil semua sama dia,”ceritanya sedih.”Padahal uang tadi udah susah-susah saya kumpulin buat beli mainan,”lanjutnya tambah memelas.

“Lagian kamu dibilangin gak percaya, jangan itung uang di jalan, itungnya di bus aja,”salah seorang gerombolan pengamen yang menghampirinya memarahinya. Pengamen yang sama yang meneriaki pengamen yang memalak tadi. Sepertinya Najwa kenal, seperti pengamen yang pertama kali ditemuinya.

“Abisnya  buru-buru,”tiba-tiba si pengamen cilik yang  dipalak tadi terisak,”Sekarang malah gak punya uang buat ongkos pulang,”

“Rumah kamu dimana?”tanya Najwa.”Ayo Kakak antar pulang,”Najwa teringat adiknya sendiri di rumah, usia mereka hampir sama, sehingga ia ingin sekali memastikan si pengamen cilik yang dipalak tadi sampe rumah dengan selamat.

“Ayo Kak saya anterin. Saya tau rumahnya,”ujar pengamen cilik lainnya. Bukan yang memarahinya tadi, tapi ikut berteriak bersama Najwa dan pengamen cilik yang memarahinya. Najwa merasa kenal juga, seperti pengamen cilik kedua yang ditemuinya.

“Kenalin Kak, aku Rio. Ini Anto dan yang tadi dipalak itu Rachel. Yang perempuan pake rok disana itu Anggi. Terus yang perempuan pake tas merah itu Rika. Kita semua temen main di rumah, rumah kita deketan semua,”ujar salah seorang pengamen cilik yang tadi marah itu memperkenalkan diri.

“Kakak, Najwa,”

Mereka akhirnya berada dalam angkot mengantarkan Rachel pulang. Najwa hanya ingin memastikan Rachel benar-benar pulang dengan selamat sampe rumahnya. Sedangkan Rio, Anto, Anggi dan Rika, mereka memutuskan mengantarkan Rachel pulang karena sudah waktunya mereka pulang.

“Oiya Rachel, ini buat kamu,”Najwa menyerahkan salah satu isi tas tentengnya, sebuah boneka tokoh kartun yang sedang terkenal. Najwa berharap dapat meredakan kesedihan Rachel.

***

Begitulah cerita yang baru saja diceritakan oleh Najwa pada adik laki-laki paling kecilnya yang sedang rewel tidak mau sekolah, dan ngambek.

“Masih enakan kamu kan? Dibanding mereka,”tanya Najwa.”Setidaknya jajanmu masih dikasih sama bapak ibumu,”Jeda sejenak.”Walalupun sekarang enggak, biasanya juga kamu selalu dibeliin mainan sama bapak ibu. Masih bisa makan enak gak pake mikir uangnya darimana,”lanjut Najwa.

“Iya kak,”Sambil merunduk Bayu merenungi perkataan Kakaknya. Tidak salah yang dikatakan oleh Kakaknya.”Baiklah Bayu akan menurut kata Ibu, Bayu bakal minta maaf sama ibu sama ayah terus besok bakal berangkat sekolah lagi,”ujar Bayu semangat.

Seharian tadi, Bayu adiknya, mengurung diri di kamar. Tidak ada yang bisa bikin Bayu buka pintu kamarnya. Sampe Najwa membujuk Bayu dengan cokelat dan cerita yang Najwa baru dialaminya. “Bayu, Kak Najwa mau cerita. Bayu buka pintunya ya. Ada cokelat juga lho,”bujuk Najwa beberapa jam yang lalu, yang entah kenapa terpikir untuk menceritakan pengalamannya itu.

 “Gitu dong, baru adeknya Kakak Najwa,”Najwa mengacungkan telapak tangannya ke depan Bayu, pertanda meminta tos. Bayu membalas dengan senang hati dan mereka berdua tertawa lega.

“Kak nanti kita bantu pengamen yang Kakak ceritain ya. Bayu mau ikut bantu mereka, Bayu mau kasih baju sama mainan Bayu yang udah gak kepake,”Kata Bayu setelah melepas pelukannya dari Kakaknya.

“Adeknya Kak Najwa udah besar,”Najwa mengusap kepala Bayu.”Oke sayang, nanti kalau kamu libur ya kita kesana,”Dengan senang hati Najwa mengiyakannya.

**Tamat**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun