Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Balas Budi

27 Maret 2019   10:29 Diperbarui: 27 Maret 2019   10:43 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay


Aku tak menyukai anjing, tapi keadaan membuatku akhirnya berbaur dengan binatang itu. Liur anjing katanya najis, itu yang membuatku tak menyukainya. Selain dari pada itu, anjing juga termasuk binatang yang terkenal galak, terutama anjing penjaga. Dan parahnya, aku justru harus hidup berdampingan dengan beberapa ekor anjing penjaga.

Awal kali datang ke tempat ini, ada banyak sekali kekhawatiran. Selain banyak anjing, di sini pun termasuk kawasan yang sepi perumahan. Rumah yang kutempati ini adalah satu-satunya rumah yang berdiri di puncak gunung, di tengah hutan. Ada pun rumah lain, jaraknya saling berjauhan. Aku harus menerima ini atas tuntutan pekerjaan.

Setiap pagi aku harus disergap lima ekor anjing ketika hendak keluar rumah. Mereka memang tak menggigit, tapi bajuku akan kotor atas kelakuan mereka.

Ada enam ekor anjing di rumah ini. Seekor yang sepertinya paling tua bernama Lau Hu, seekor lagi bernama Lai Fu. Keduanya berwarna hitam pekat. Lalu seekor berwarna hitam dengan bintik kuning bernama Xiau Li, seekor lagi berwarna hitam dengan beberapa bekas luka di tubuh bernama Hei Ta, seekor berwarna kuning bernama Xiau Huang, serta seekor lagi yang terakhir tak kuketahui namanya. Dia satu-satunya anjing yang dirantai, satu-satunya anjing yang paling galak. Mereka semua jantan terkecuali Xiau Huang. Xiau Huang adalah satu-satunya anjing betina di sini.

Suatu hari pernah, Lau Hu terjerembap hampir masuk ke jurang. Beruntung, salah satu kakinya tersangkut ranting pohon. Aku tengah mencuci baju saat mendengar Lau Hu menggonggong tak mau henti. Pun anjing-anjing yang lain. Gonggongan mereka tak seperti biasa. Penasaran, aku mencari sumber suara. Benar saja, kulihat Lau Hu tengah kesusahan hendak naik ke atas. Di sisinya, Xiau Huang dan yang lain ikut menggonggong sambil menatap ke arahku saat melihat aku mendatangi mereka. Aku yakin, jika mengerti bahasa mereka, mereka pasti lah berteriak minta tolong.

Perlahan, aku mengangkat tubuh Lau Hu. Satu kakinya kukeluarkan dari reranting yang menyangkut. Selepas itu, Lau Hu terus mendengusku, menggesek-gesekkan kepalanya ke kakiku. Xiau Huang pun demikian, mereka seolah hendak berucap terima kasih. Aku mengelus bulu mereka dengan lembut.

"Makanya lain kali hati-hati," ucapku ke Lau Hu.

Ya, setelah lama berdiam di tempat ini, mereka adalah kawanku. Meski liurnya najis, tapi bisa dibersihkan bukan? Mereka tak sepatutnya dikucilkan, ditakutkan. Ya, aku tak lagi takut. Mereka tak akan menggigit. Kecuali seekor anjing yang di rantai, pernah suatu hari dia menggigit kakiku. Beruntung, gigitannya tak menembus ke kulit. Hanya celanaku saja yang koyak.

Di sini, orang-orang begitu sibuk. Aku bahkan tak menyukai mereka, tak ada kehangatan. Semua kaku, seperti robot yang sudah terkontrol. Yang mereka lakukan hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Mereka benar-benar berprinsip bahwa waktu adalah uang. Itulah sebabnya aku lebih bersahabat dengan anjing-anjing.

***

Lolongan anjing bersahutan. Aku bangun ketika kutatap waktu menunjukkan pukul enam pagi. Mencuci muka, menggosok gigi lalu keluar untuk menjalankan aktivitas seperti biasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun