Mohon tunggu...
anindyaputrid
anindyaputrid Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswi yang menyukai bahasa dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dibalik 'Hati-hati Ibu!': Kajian Pragmatik terhadap Video yang Viral di Tiktok

14 Juni 2025   15:29 Diperbarui: 14 Juni 2025   15:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tiktok @juraganlemon24

Sebuah video yang diunggah oleh akun TikTok @juraganlemon pada 24 April 2025 ramai diperbincangkan warganet. Video tersebut merekam momen saat seorang ibu membeli minuman lemon di sebuah toko di kawasan Gunung Batu, Cimahi. Setelah transaksi selesai, sang ibu pembeli dengan ramah mendoakan agar usaha si penjual selalu lancar. Penjual pun membalas dengan nada sopan, "Aamiin, hatur nuhun, Bu. Hati-hati, Ibu." Namun tak disangka, ucapan penutup itu justru memantik reaksi yang di luar dugaan. Sang ibu pembeli tiba-tiba tersinggung, mengangkat nada bicara, dan menyebut bahwa ungkapan "hati-hati" adalah bentuk kekurangajaran.

Tanpa memberi kesempatan menjelaskan, sang ibu langsung menasihati si penjual secara panjang lebar. Ia menuding bahwa ucapan "hati-hati" merupakan bagian dari retorika radikal, bahkan dikaitkan dengan kelompok teroris seperti ISIS. Ia berkata, "Itu tuh ucapan kelompok teroris ISIS, radikalisme! 'Hati-hati, Ibu' itu ucapan kurang ajar! Kamu kurang ajar sama saya! Saya bilangin, tugas saya: 'Selamat ya, sudah selesai, hatur nuhun', selesai gitu. Kamu teroris ISIS, bukan? Ya makanya jangan mau disuruh ngomong begitu! Saya agak marah ini, terus terang."

Tak berhenti sampai di situ, sang ibu melanjutkan "wejangan"-nya dengan membandingkan cara-cara menyampaikan perhatian kepada anggota keluarga. Menurutnya, ucapan seperti "hati-hati" kepada anak atau suami pun tetap tidak pantas. Ia berargumen bahwa orangtua semestinya mendoakan secara langsung dan hangat, bukan hanya sekadar berkata "hati-hati di jalan." ujarnya, "antara 'Hati-hati, Pak' dan 'Semoga sehat selalu, semoga semuanya tercukupi'. Rasakan bedanya!'"

Dalam nada yang semakin meninggi, ia juga meminta agar sang penjual menyampaikan kepada orang lain bahwa kata "hati-hati" menurutnya adalah bentuk pengaruh radikalisme yang merusak budaya Indonesia. Ia menegaskan, "Saya agak marah. Cukup: 'Semoga sehat selalu ya.' 'Aamiin.' Udah. Selesai gitu! Jangan ngomong 'hati-hati'! Kamu kurang ajar sama saya!"

Sepanjang kejadian tersebut, sang penjual hanya bisa terdiam, mendengarkan, dan sesekali menyampaikan permintaan maaf. Ia tidak membantah, tidak melawan, hanya menerima tudingan yang bertubi-tubi itu dengan sabar.

Fenomena ini bisa ditelaah melalui sudut pandang pragmatik. Bagaimana bisa sebuah ucapan yang secara umum dianggap sebagai bentuk kepedulian, malah ditanggapi dengan kemarahan yang sedemikian besar? Dalam konteks ini, ada tiga aspek pragmatik yang bisa dianalisis, yaitu presuposisi, implikatur, dan tindak tutur. Selain itu, kasus ini juga menunjukkan bagaimana kesantunan berbahasa dapat dipahami berbeda oleh setiap individu, tergantung pada latar belakang, emosi, dan sudut pandang masing-masing.

Kesalahpahaman ini bermula dari perbedaan cara pandang terhadap frasa "hati-hati." Bagi Ibu penjual, ucapan itu dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian yang umum dalam interaksi sosial. Namun, bagi Ibu pembeli, frasa tersebut terdengar dingin, bahkan diasosiasikan dengan retorika yang dianggap negatif. Ketika ia menuduh "kurang ajar" dan melabeli ucapan itu sebagai bagian dari ajaran radikal, secara tidak langsung ia telah menyerang dua aspek penting dalam kesantunan berbahasa: positive face dan negative face.

Dalam teori kesantunan Brown dan Levinson (1987), positive face merujuk pada kebutuhan individu untuk dihargai dan disukai oleh orang lain, sementara negative face berkaitan dengan kebutuhan untuk bebas dari tekanan atau paksaan. Tuduhan yang dilontarkan oleh Ibu pembeli dapat dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap kedua aspek ini, karena menuduh si penjual tidak sopan dan memaksakan interpretasi pribadi terhadap maksud ucapannya, seperti saat ia berkata:

"Itu tuh ucapan kelompok teroris ISIS, radikalisme! 'Hati-hati, Ibu' itu ucapan kurang ajar! Kamu kurang ajar sama saya! ... Kamu teroris ISIS, bukan? ... Jangan ngomong 'hati-hati'! Kamu kurang ajar sama saya."

Dari sudut pandang presuposisi, Ibu pembeli tampaknya mengasumsikan bahwa ucapan "hati-hati" bukan hanya ditujukan untuk dirinya, melainkan juga merupakan pola komunikasi yang sering dipakai oleh penjual kepada orang-orang terdekatnya. Ini terlihat dari ucapannya yang membandingkan gaya komunikasi dalam keluarga:

"Antara 'Hati-hati, Pak' dan 'Semoga sehat selalu, semoga semuanya tercukupi'. Rasakan bedanya!"

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Ibu pembeli membawa serta pandangan pribadinya tentang bentuk perhatian yang ideal dalam keluarga, yakni perhatian yang ekspresif dan penuh doa. Ia menilai bahwa sekadar berkata "hati-hati" terdengar dingin dan tak cukup tulus, sehingga secara tidak langsung, ia mengasumsikan bahwa orang yang menggunakan frasa itu tidak memiliki niat baik atau bahkan dianggap "kurang ajar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun