Ketika Gaya Hidup Menjadi Tujuan Hidup
Di era digital yang kian berkembang, media sosial menjadi etalase utama gaya hidup anak muda. Tampilan outfit branded, nongkrong di kafe hits, liburan ke destinasi populer, hingga gawai terkini semuanya dipajang dan dikonsumsi publik secara masif. Sayangnya, demi mempertahankan citra di dunia maya, tidak sedikit anak muda Indonesia rela menempuh jalan instan: berutang melalui pinjaman online (pinjol).
Fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal psikologi dan budaya. Ketika gengsi menjadi panglima, rasionalitas sering kali ditinggalkan. Pinjol pun hadir sebagai solusi semu yang menjanjikan dana cepat tanpa banyak syarat, namun menjerat diam-diam dengan bunga mencekik dan risiko intimidasi.
Lantas, apa yang sebenarnya mendorong anak muda mengambil keputusan berisiko ini? Dan bagaimana cara menghentikan siklus konsumtif yang berujung jeratan finansial? Artikel ini mencoba mengurai benang kusut fenomena tersebut.
Fenomena: Pinjol Sebagai “Jalan Pintas” Gaya Hidup
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengguna pinjaman online terus meningkat setiap tahun. Di tahun 2024, lebih dari 30% pengguna layanan pinjol berasal dari kalangan usia 19–34 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa anak muda merupakan pasar empuk bagi industri fintech lending, baik legal maupun ilegal.
Beberapa alasan umum anak muda terjerat pinjol, antara lain:
Gengsi Sosial dan Tekanan Media Sosial
Banyak anak muda merasa harus selalu tampil “keren” agar tidak tertinggal dari lingkar sosialnya. Unggahan teman-teman tentang liburan, barang mahal, atau pencapaian karier menciptakan tekanan tersendiri untuk membuktikan eksistensi mereka.Minim Literasi Finansial
Tidak semua anak muda memiliki pemahaman yang memadai tentang pengelolaan uang, bunga pinjaman, dan risiko utang. Pinjol, yang sering kali beriklan secara agresif dan menyesatkan, tampak seperti solusi cepat untuk kebutuhan mendesak.Gaya Hidup Konsumtif dan Instant Gratification
Dorongan untuk mendapatkan sesuatu secara instan tanpa menunggu atau menabung mendorong banyak orang untuk memilih berutang. Saat tidak mampu membeli, mereka memilih meminjam, tanpa memperhitungkan kemampuan bayar.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!