Dam Licin, legendaris dalam kehidupan saya menapaki jalan-jalan di Pasuruan. Pertama kalinya saya diminta mengekspose dam sungai untuk wisata.
Saya bukan orang penting dari dinas manapun. Saya cuma penulis buku termasuk wisata dan penulis blog Kompasiana serta jurnalis media online, Â kejoranews.com dan jatimsatunews.online. Tidak ada kompetensi formal atau profesi yang saya miliki untuk terlibat terjun menangani sebuah kawasan menjadi wisata desa.
Sehingga, ketika orang bertanya kepada saya," Ibu dari dinas apa?"
Spontan saya jawab," Dari dinas jalan-jalan." hehe
Â
Tetapi saya peduli, pengalaman saya jalan-jalan ke pelosok desa di beberapa daerah nusantara mengajarkan bahwa di desa atau kampung kota, selalu ada berlian tersembunyi yang bisa digosok agar bersinar.Artinya, di kawasan itu, yang paling kumuh sekalipun, ada potensi wisata yang bisa diunggulkan. Tergantung warga dan stake holder setempat mau atau tidak.
Kalau mau maka saya siap dampingi. Jangan takut, saya relawan literasi bukan konsultan profesional yang pasang tarif bayaran. Kecuali kalau minta terbit buku maka harga saya berikan sesuai penerbitan.
Kembali ke Dam Licin, pertama saya datang dengan para penulis Jatim yang datang untuk Rakor Komalku Komunitas Menulis Buku Indonesia --kebetulan saya ketua-- di Cafe Laut Semare. Saya melihat sungai yang indah tapi tidak layak untuk jadi tempat wisata, sesuatu yang sangat diimpikan kades setempat, Dhompo Kraton Pasuruan.
Penyebabnya 2 hal. Pertama, gunungan sampah di mana-mana, ini poin jelek yang tak boleh ada di daerah wisata. Kedua, masih ada budaya mandi bareng di Sungai. Ih, bisa kena UU pornografi kalau sampai dijadikan obyek destinasi.
"Bunda ngeriiii!!!," teriak mbak Novie, novelis "Lelaki Jahanam" pada saya waktu itu 19/8/2021, diiringi tolehan kepala kawan penulis lain.
"Kenapa? " Kekagetan menerpa pula pada diri saya yang berjalan di baris paling akhir.