Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Udin, Butuh Ijazah Bukan SK DO

16 Maret 2021   11:58 Diperbarui: 16 Maret 2021   18:17 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Siapa bilang, miskin tidak bisa berkuliah? Itu yang dicurhatkan Udin pada saya. Lewat gaya bertutur aku, sebagai Udin.  Saya tulis kisah Udin ini.

Berjuang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi merupakan salah satu mimpi anak bangsa sepertiku.

Mempelajari keberagaman budaya dan ke ilmuan yang beragam membuat kita semakin kaya akan pengetahuan. Inilah yang menjadi alasan dasar bagiku untuk terus belajar dan mengasah pengetahuan sedalam-dalamnya. Kemudian mengaplikasikan di kehidupan bermasyarakat. 

Berbagai cara kita lakukan untuk bisa menembus kampus impian, seperti yang berhasil kulakukan. 

Sukses memasuki pintu kampus Universitas Brawijaya Program studi S1 Antropologi l program beasiswa bidikmisi, membuatku semakin lebih giat untuk mengakses pengetahuan. Walaupun terkadang ada proses dimana kita harus menelan pahitnya menjadi mahasiswa karena uang yang serba kekurangan. 

Pun biaya hidup yang semakin mahal tak memupuskan semangatku untuk tetap belajar dan berkarya. Hingga akhirnya aku berhasil lulus dari universitas Brawijaya pada tahun 2016, dengan mengukir Medali Pimnas untuk fakultas dan kampus tercintaku.

Pertarungan yang berhasil aku menangkan dan menjadi wisudawan antropologi bukan berarti semua telah usai. Itu adalah langkah awal yang baru saja dimulai, dengan semangat tinggi menjulang, akhirnya aku memberanikan diri untuk Melanjutkan studi S2 Antropologi di Unhas. 

Keterbatasan finansial bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang dan mematahkan semangat. Justru ini menjadi kekuatan  dahsyat yang membuatku akhirnya bisa berdiri kokoh dengan komitmen yang tinggi untuk menimba ilmu lebih tinggi lagi. 

Kesulitan selama aku menjadi mahasiswa S1 tak membuat langkah ini surut. Aku terus berjuang untuk memberikan hadiah terindah untuk keluarga, sahabat, masyarakat dan Negara. 

Belajar dengan sungguh-sungguh dan kerja keras akhirnya mengantarkan aku bisa lolos program S2 Antropologi Universitas Hassanudin pada tahun 2017.

Satu hal yang berat bagi diriku sebagai anak tukang sapu jalan untuk bisa membiayai studi S2 dan biaya hidup selama berada di Makassar. Meski begitu,  ini menjadi semangat yang tak akan pupus. Dengan keterbatasan aku berjuang dan melawan kedaan. 

Aku berjuang sebatang kara di kota Makassar tanpa sanak, kawan dan saudara. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Di tengah himpitan ekonomi yang sulit, aku pada akhirnya bekerja paruh waktu menjadi pedangan kue keliling. Juga pelayan di salah satu kafe dan tenaga pengajar untuk les privat. Semua kulakukan demi tanggung jawab menjadi insan yang berkualitas. 

Dibalik keterbatasan,  Allah mengirim hadiah indah melalui program beasiswa unggulan. Menginjak semester 2 akhirnya aku lolos sebagai penerima beasiswa unggulan On Going. 

Rasa syukur yang mendalam, beasiswa ini menjadi penyambung mimpi. Dengan beasiswa yang kudapat aku bisa melakukan hal lebih seperti hoby yang tak pernah mati. Aku mengikuti berbagai acara  seminar, wokshop baik tingkat nasional maupun internasional. Selain itu aku juga menulis buku dan novel.  Tidak hanya itu aku juga sebagai pelopor gerakan pulau garis depan.

Sebuah gerakan sosial yang mengumpulkan mahasiswa seluruh kampus di kota Makassar untuk peduli membangun sekolah di pulau terluar kota Makassar. Yaitu tepatnya di pulau Lanjukang. Sebuah pulau terluar kota Makassar.

Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan selama 77 tahun. Mereka tinggal tanpa sebuah pendidikan, bagiku sungguh mengenaskan. Hak mereka mendapatkan pedidikan dengan layak tak dapat mereka terima. Ini yang mendorongku bersama teman-teman mendirikan sekolah untuk mereka.

Sekolah itu di bangun dari penggalangan dana  dari Buku dan Novel karyaku. Akhirnya sekolah itu berdiri dan mereka dapat merasakan pendidikan. 

Sebuah pelajaran  berharga yang aku dapatkan. Bahwa masih banyak anak-anak di luar sana yang belum mendapatkan pendidikan. 

Dibalik kepedihan dan kesulitan ekonomi aku terus berjuang menembus batas, namun diriku tetap konsentrasi dengan studi yang kutempuh. Hingga aku tidak bisa menghitung  berapa banyak hutang dan kesulitan yang  kuterima selama kuliah. Aku ihklas menjalani semua ini demi mewujudkan mimpi menjadi seorang dosen.

Setelah aku menyeselesaikan ujian proposal tesis dan IPK mencapai 3,96. Aku dihadapkan kenyataan yang begitu pahit, sebuah rasa yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Sebuah surat yang melayang bebas tiba-tiba meruntuhkan perjuangan dan semangatku untuk sementara waktu. 

Universitas tercinta tempatku menuntut ilmu yaitu Universitas Hassanudin memberikan surat DO kepadaku. Hal yang membuat diriku merasa tertampar oleh keputusan DO tersebut. Disebabkan aku tidak bisa membayar biaya SPP selama 3 semester berturut-turut. 

Bukan karena diriku tidak mau membayar kewajiban, akan tetapi aku tidak memiliki dana untuk membayarnya. Selama berkuliah, aku hidup sendiri dan sebatang kara.

Aku harus mencukupi kebutuhan pribadi dari berbagai sumber. Mulai jualan keliling, menjadi pemateri, menjadi karyawan kafe, menjadi guru privat dan dari bantuan beasiswa unggulan. Harusnya cukup untuk menyambung hidup. Namun banyaknya kegiatan dan projek sosial yang  kulakukan membuatku menelan kenyataan tak bisa menutup kebutuhan. Dana yang kubutuhkan cukup banyak ternyata.

Untuk menutupi kekurangnya aku berhutang bahkan pernah sampai hutang uang rentenir. Semua kulakukan demi pendidikan. Suatu perjuangan  panjang dengan kesulitan bertubi. Prestasiku cukup banyak dan menonjol sebetulnya, namun  nyatanya tak cukup membuat Unhas segan.

Andai saja aku bisa berteriak aku ingin berteriak sekeras mungkin dan mengajak para petinggi UNHAS untuk melihat betapa sulitnya hidup dan perjuanganku. Untuk makan saja sulit dan terkadang sampai tidur masjid. 

Namun kini semua menjadi abu saat aku di DO. Mimpi yang selama ini aku kejar selangkah terhenti.  Aku merasa ini tak adil, aku mendapatkan SK-DO setelah perjuangan berdarah-darah yang aku lakukan.

Namun aku tidak akan mati, aku akan terus berjuang untuk sebuah mimpi mulia. Tekadku berangkat ke Jakarta dan Makassar dengan uang donasi Kompasianer. Tangan Tuhan yang memompa semangatku untuk tak pupus berjuang.

Hal yang bisa aku lakukan adalah berjuang dan  berdoa agar petinggi UNHAS sadar dan bisa merubah SK tersebut. Seperti Kata Nadim Makarim yang kutemui kemarin. Prosedur dan keputusan adalah kewenangan UNHAS.

Aku butuh Ijazah, bukan viral. Untuk itu aku tidak melakukan pembelaan lewat media, baik televisi maupun cetak. Kalau lewat jalur resmi ijazahku bisa keluar. Kan kutempuh itu dahulu.

Kisah ini, semoga menjadi perhatian para pemimpin negeri, agar tidak ada anak bangsa yang harus memupus mimpi tersebab miskin  ekomoni.

***

 Hormat dan terima kasih untuk Romo Bobby dan Bapak Rudi Gunawan

 Udin untuk Anis Hidayatie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun