Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ternyata, Ku Tak Ingin Musibahku Menimpanya

12 Januari 2021   20:55 Diperbarui: 13 Januari 2021   02:52 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi foto: The Onsen Songgoriti Batu (doc.pri)

Hanya ada lelaki kecil di rumahnya, anaknya yang sedang tak bersekolah. Kuminta padanya memberikan barang yang kutitipkan. Memberi uang sekedarnya sebagai saku, seperti biasa bila aku bertandang.

Kubawa barang itu pulang, kembali menuju rumah sakit. Syukurlah tak ada sesuatu yang terjadi pada pasienku. Dia tenang, masih tertidur pulas.

Kutata hatiku baik-baik, diam menjadi cara menenangkan amarah yang membuncah. Mengendalikan kata-kata agar tak terlontar apa-apa. Kubiarkan saja gawai, tidak mengetik apapun yang mengabarkan bahwa barang telah kuambil. Toh, tadi sudah kusampaikan salam pada anaknya.

Belum genap seminggu usai peristiwa itu, kabar duka kudengar, ibunya meninggal setelah sekian hari dirawat di Rumah Sakit. Rupanya usai kuambil barang itu dari rumahnya dia harus menjaga sang ibu yang anfal.

Dia telah mengalami yang kurasakan. Terbelenggu harus merawat orang tercinta sakit, tak ada kebebasan gerak dan waktu selain fokus pada pasien. Dia sudah merasakan penderitaanku.

Tapi kematian ibunya? Itu hal tak terduga yang tak ingin pula kudengar kabar beritanya. Sedih menggayuti, ingin pergi ke rumah duka. Memberikan pundakku padanya.

Rasa bersalah mendera, menyesal pernah bergumam seolah meminta musibah untuknya pada Tuhan. Apa yang kulakukan? Seketika kubersujud, memohon ampunan. Atas pernah gumamkan gerutu ini.

Mestinya aku bukan marah waktu itu, tetapi mengaca diri, introspeksi. Mestinya ketika ada orang jengkel, poin-poin kejengkelan itu kucatat, agar tak mengulangi lagi di kemudian hari. Mestinya lagi aku berterima kasih padanya, dia sudah jujur di hadapan.
Bukan menjelek jelekkanku di belakang. Lebih dari itu harusnya dadaku seluas samudera, memaafkan siapapun yang melukai perasaan. Karena di situlah predikat sabar dipertaruhkan konsistensinya.

Bukankah sabar harus lewat ujian, tidak dikatakan sabar tanpa dia mengalami guncangan kesabaran. Tidak mungkin orang tiba-tiba mengatakan,"Yang sabar ya?" tanpa ada peristiwa yang melatar belakangi.

Sabar itu berat ujiannya ternyata. Kalau tidak  tak mungkin ada statemen, "Tuhan bersama orang-orang yang sabar."

Kuambil gawai, menyampaikan ucapan duka mendalam atas kematian ibunya. Dia menerima, sampaikan terima kasih pula. Hanya pesannya mohon didoakan saja, tidak perlu datang karena daerahnya masih rawan Covid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun