Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Ternyata, Ku Tak Ingin Musibahku Menimpanya

12 Januari 2021   20:55 Diperbarui: 13 Januari 2021   02:52 223 28
Padahal kau sudah banyak melakukan sesuatu untuknya, memberi tak ada hitungan pula. Akan tetapi balasan yang kau terima sungguh menyakitkan. Bukan terima kasih tapi makian. Untuk yang memperlakukanmu begini adakah tersirat sebiji benci di sudut hati?

Jam berdetak berputar mengantarku pada sebuah nama yang kini teramat mengerikan. Jangankan berbincang,  melihat deret hurufnya saja trauma kelam memukul kenangan. Nama itu menakutkan, tak ingin lagi mengenalnya dalam kehidupan ini.

Kalau saja tidak ada aturan Tuhan yang melarang memutus tali silaturahmi, pasti sudah kublokir namanya. Kalau saja benci dendam boleh dilakukan pasti sudah kulakukan sesuatu yang bisa mencelakakan dia, membuatnya tersiksa karena pernah mempermalukanku, melukai perasaanku.

Akan tetapi sedikitpun aku tidak melakukan apa-apa. Bahkan hati ini kularang mengingatkan betapa dia pernah menorehkan kesakitan tak terperihkan. Butir-butir aturan Tuhan menjadi penjaga untuk aku tak menerobos pintu kebencian.

"Manusia tempatnya salah dan lupa."

Rupa-rupa kebaikanku padanya silih berganti muncul bak film dokumenter. Memberi uang atau barang, membuatkan sesuatu, melakukan ini itu lengkap dengan hari tanggal dan jam. Sepertinya tak ada satu hal buruk yang pernah kulakukan. Kami sudah akrab sehingga saling meminta tolong menjadi kebiasaan.

Tidak ada keberatan melakukan ini itu untuknya, hingga hari itu tiba. Aku titip barang padanya, rencana segera kuambil tapi keluargaku ada yang sakit sehingga harus menjaganya. Hingga seminggu baru bisa kuambil barang itu.

Maaf kuhaturkan, meminta barang itu dikirimkan via online. Ternyata itu membuatnya marah.

"Saya bukan pesuruhmu, silahkan diambil ke rumah. Atur waktu sampeyan baik-baik, biar tidak merepotkan dan mengecewakan orang lain."

Jarak ke rumahnya berbilang lebih 2 jam, kalau ke sana harus meninggalkan si sakit. Namun demi tidak ingin membuatnya makin marah kutempuh itu. Meminta izin perawat, meninggalkan pasien dengan tangis berderai. Antara tak tega dan rasa campur aduk sesudah ditimpuki kalimat kawanku itu.

"Kau belum tahu rasanya ditimpa musibah," gumam batinku menggemuruhkan  pilu berbaur dengan deras hujan yang tak menghalagiku menuju kotanya, dengan motor tua.

Hanya ada lelaki kecil di rumahnya, anaknya yang sedang tak bersekolah. Kuminta padanya memberikan barang yang kutitipkan. Memberi uang sekedarnya sebagai saku, seperti biasa bila aku bertandang.

Kubawa barang itu pulang, kembali menuju rumah sakit. Syukurlah tak ada sesuatu yang terjadi pada pasienku. Dia tenang, masih tertidur pulas.

Kutata hatiku baik-baik, diam menjadi cara menenangkan amarah yang membuncah. Mengendalikan kata-kata agar tak terlontar apa-apa. Kubiarkan saja gawai, tidak mengetik apapun yang mengabarkan bahwa barang telah kuambil. Toh, tadi sudah kusampaikan salam pada anaknya.

Belum genap seminggu usai peristiwa itu, kabar duka kudengar, ibunya meninggal setelah sekian hari dirawat di Rumah Sakit. Rupanya usai kuambil barang itu dari rumahnya dia harus menjaga sang ibu yang anfal.

Dia telah mengalami yang kurasakan. Terbelenggu harus merawat orang tercinta sakit, tak ada kebebasan gerak dan waktu selain fokus pada pasien. Dia sudah merasakan penderitaanku.

Tapi kematian ibunya? Itu hal tak terduga yang tak ingin pula kudengar kabar beritanya. Sedih menggayuti, ingin pergi ke rumah duka. Memberikan pundakku padanya.

Rasa bersalah mendera, menyesal pernah bergumam seolah meminta musibah untuknya pada Tuhan. Apa yang kulakukan? Seketika kubersujud, memohon ampunan. Atas pernah gumamkan gerutu ini.

Mestinya aku bukan marah waktu itu, tetapi mengaca diri, introspeksi. Mestinya ketika ada orang jengkel, poin-poin kejengkelan itu kucatat, agar tak mengulangi lagi di kemudian hari. Mestinya lagi aku berterima kasih padanya, dia sudah jujur di hadapan.
Bukan menjelek jelekkanku di belakang. Lebih dari itu harusnya dadaku seluas samudera, memaafkan siapapun yang melukai perasaan. Karena di situlah predikat sabar dipertaruhkan konsistensinya.

Bukankah sabar harus lewat ujian, tidak dikatakan sabar tanpa dia mengalami guncangan kesabaran. Tidak mungkin orang tiba-tiba mengatakan,"Yang sabar ya?" tanpa ada peristiwa yang melatar belakangi.

Sabar itu berat ujiannya ternyata. Kalau tidak  tak mungkin ada statemen, "Tuhan bersama orang-orang yang sabar."

Kuambil gawai, menyampaikan ucapan duka mendalam atas kematian ibunya. Dia menerima, sampaikan terima kasih pula. Hanya pesannya mohon didoakan saja, tidak perlu datang karena daerahnya masih rawan Covid.

Niat baik akan diterima baik. Tuhan maha baik, hubungan kami cair. Tidak ada lagi ketidaknyamanan dalam perkawanan. Hanya saja sekarang aku lebih hati-hati, melakukan telaah dulu untuk sebuah kepentingan yang butuh bantuan. Sebisa mungkin tidak merepotkan orang.

Meninggalkan 2020 aku ingin menanggalkan segala kenangan buruk itu, bangkit. Memperbaiki jejak langkah di 2021. Menjadi orang baik, di mata Tuhan dan manusia. Untuk kebaikan umat di dunia. Termasuk menjadi pemaaf dan penyabar, dengan hati seluas samudera.


#LadiesianaRenungankuHarapanku


Diary akhir tahun Anis Hidayatie

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun