Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kisah Tentang Keimanan

12 Desember 2018   16:09 Diperbarui: 12 Desember 2018   16:31 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ondo Supriyanto (dokpri)

Senja tlah tiba, waktuku pulang ngandang, setelah seharian berburu recehan di jalanan. Bersyukur, ada hasil untuk yang menanti di rumah,  hanya sepiring yang dibutuhkan tubuh, tapi untuk itu butuh ribuan peluh diteteskan.

Luru upo, begitu kata teman seperjuanganku di jalanan sesama pengasong mengistilahkan. Demi sesuap nasi aku dan  mereka berkawan mentari, dari terbit fajar hingga sore hari.

Halnya diriku, tak mudah  mendapatkan sepiring nasi ini, butuh perjalanan berliku, dari gang sempit ke jalan raya, masuk lagi ke gang-gang tikus yang hanya selebar 1 meter untuk menjajakan penganan pengganjal perut. 

Sesudah setor uang pada juragan, barulah aku berani membelanjakan, tidak banyak labanya. Alhamdulillah bersyukur masih bisa membeli bensin dan sekilo beras dengan lauk sederhana. 

Saat itu, ada temanku yang sampai bedug Maghrib ditabuh, tak jua berani pulang, karena  kayunya belum juga terjual, ditaruhnya di dinding masjid, ikut berjamaah di sana karena ada makanan  gratis dibagikan, yang disiapkan takmir masjid untuk musafir atau yang sedang berpuasa.

Mestinya petang ini, sesudah sholat Maghrib kutunaikan, aku makan.
Bersama emakku menghadap hidangan yang sudah disajikan di rumah, tapi tak jadi kulahap sepiring nasiku. Mengingat temanku itu,  aku ora kolu, ora iso ngeleg, tak nyaman diriku melahap. Kuhampiri dia yang masih duduk di tangga masjid, maksudku ingin menawarkan padanya agar bersama makan di rumahku. Tapi dia bergeming, katanya sudah kenyang karena perutnya telah terisi semangkuk kolak pisang di masjid tadi. 

Kusaksian, saat ku tinggalkan,  dia masih setia duduk di tangga dekat kayunya, merunduk ke bawah menghitung jari jakinya, terperangah tak percaya ketika kutengok ke belakang ternyata ada ibu ibu turun dari mobil, mengulurkan selembar uang kertas merah seperti seratus ribuan, memberikan pada temanku si penjual kayu itu.

Penasaran, kembali aku menghampirinya, ibu-ibu tadi telah pergi, temanku bilang kayunya di beli, diberikan kepada tukang bersih-bersih masjid ini. Sebetulnya uang seratus ribu tadi masih kembali 50 ribu,  tapi sama ibu tadi disuruh bagi dua untuk nya dan untuk tukang bersih-bersih masjid tadi.

Meski uang sudah di tangan, dia tidak langsung pulang, di masjid ini dia memperoleh rizki, maka diapun akan bersujud syukur ikut jamaah sampai isya' sampai selesai, anak istrinya di rumah sudah terbiasa menunggu, bahkan kadang tak pulang pula, sebelum kayunya terjual. 

Aku tergugu, ada yang lebih parah dariku. Meski harus meninggalkan rumah sedari terbit mentari, aku sudah punya pelanggan, jarang pulang dengan tangan kosong, tapi dia, hari gini, menjajakan kayu, saat mayoritas rumah tangga sudah menggunakan kompor gas, tentu harus lebih telaten mengais mereka yang menggunakan pawon, tungku untuk memasak sehari-harinya. 

Di desaku, zaman dahulu rata-rata orang mempunyai pawon, pengganti kompor. Secara tempat tinggalku di pegunungan, orang menggunakannya untuk pendiangan, penghangat badan, disamping untuk tempat memasak makanan. Tergerus zaman, kini keberadaan pawon makin langka, tentu berimbas pada konsumen pemakai kayu bakar pula. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun