Langit di atas Dataran Tinggi Gayo masih basah setelah hujan malam. Kabut menggantung di sela-sela pinus, menyelimuti kebun kopi yang baru saja dipetik. Dari pondok sederhana di tepi kebun, aroma biji kopi yang baru disangrai menyeruak, hangat dan menenangkan. Bagi petani Gayo, secangkir kopi bukan sekadar pelepas lelah. Ia adalah simbol kebanggaan, identitas, dan janji untuk menjaga hutan sebagai sumber kehidupan. Di balik kenikmatan itu, ada kisah lain yang tak kalah penting, cerita tentang orang utan Sumatra, salah satu kerabat dekat manusia yang kini berada di ambang kepunahan.Orang utan Sumatra (Pongo abelii) sekilas mirip dengan kerabatnya di Kalimantan. Tapi jika dilihat lebih dekat, ada perbedaan yang membuatnya unik. Tubuhnya lebih ramping, bulunya kemerahan lebih panjang, dan wajahnya cenderung lebih pucat. Mereka juga lebih sering menghabiskan waktu di dahan pohon daripada turun ke tanah. Sayangnya, keunikan itu tidak menjamin keselamatan. Menurut IUCN (2023), populasi orang utan Sumatra di alam liar tersisa sekitar 14.000 individu, jumlah yang terus menurun akibat deforestasi, kebakaran, konflik dengan manusia, hingga perdagangan ilegal. Data ini, yang dipublikasikan pada IUCN Red List (2024), adalah alarm bagi siapa pun yang peduli pada kelestarian alam.
Kisah pilu sering kali muncul dari hutan Sumatra. Pada 2019, seekor induk orang utan bernama Hope diselamatkan dalam kondisi mengenaskan, tubuhnya dipenuhi 74 peluru senapan angin, tulang bahunya patah, dan bayi yang dikandungnya meninggal dunia (The Guardian, 2019). Hope akhirnya buta permanen dan kini dirawat di pusat rehabilitasi. Di tahun yang sama, bayi orang utan mungil bernama Asha ditemukan terpisah dari induknya. Tangisan kecilnya menggugah hati para relawan yang menyelamatkannya.
 Asha kini tumbuh sehat, tetapi kisahnya menjadi pengingat betapa rentannya masa depan satwa liar jika hutan terus hilang. Kabar gembira datang pada 2023, ketika seekor orang utan betina bernama Rongring dilepasliarkan kembali ke Suaka Margasatwa Siranggas setelah proses pemulihan panjang (KLHK, 2023).
Optimisme tidak boleh padam. Menyelamatkan orang utan bukan hanya tentang satu spesies, melainkan menjaga ekosistem utuh. Hutan tropis Sumatra adalah rumah bagi ratusan satwa lain, sumber air bersih, penyimpan karbon, dan benteng terakhir dari krisis iklim. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL, 2024) mencatat bahwa Sumatra kehilangan lebih dari 2,5 juta hektar hutan sejak tahun 2000, sebagian besar merupakan habitat orang utan.Â
Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan cerita tentang rumah yang runtuh, pepohonan yang tumbang, dan suara hutan yang kian sunyi. Seperti kata Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra, "Masa depan orang utan sangat bergantung pada bagaimana kita menjaga hutan saat ini. Setiap pilihan kecil, bahkan secangkir kopi, punya pengaruh besar" (PanEco, 2023).
Di balik cerita orang utan, ada narasi lain yang tumbuh subur di tanah tinggi Aceh, kopi Gayo. Dari generasi ke generasi, kopi menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Ada tradisi ngopi beureh, kebiasaan berkumpul sambil menyeruput kopi dan berbincang panjang lebar tentang kehidupan.
 Di ruang sederhana itu, kopi menjadi pengikat silaturahmi, media musyawarah, bahkan ruang diplomasi adat. Perempuan-perempuan Gayo juga memegang peran penting. Mereka tidak hanya menyiapkan kopi, tetapi juga ikut turun ke kebun, memetik buah merah dengan hati-hati, dan memastikan kualitas tetap terjaga.
Dari sinilah kisah kopi dan konservasi bertemu. Di Dataran Tinggi Gayo, sekelompok petani dari Kelompok Wih Bersih mencoba menjaga keseimbangan itu. Mereka menanam kopi arabika dengan prinsip berkelanjutan: tanpa merusak hutan, tanpa meracuni tanah dengan pestisida berlebihan, dan tetap menjaga pohon naungan agar tanah subur. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), produksi kopi Arabika Aceh mencapai 65 ribu ton per tahun, sebagian besar berasal dari Gayo. Artinya, kopi bukan hanya penghidupan, tetapi juga benteng ekonomi yang bisa sejalan dengan konservasi.
Kini, hubungan antara kopi dan orang utan bukanlah kisah yang berdiri sendiri. Banyak petani di Sumatra dihadapkan pada dilema sulit, membuka hutan demi menanam sawit atau bertahan dengan komoditas yang lebih ramah lingkungan.
 Pilihan pertama bisa membawa keuntungan cepat, tetapi dengan harga mahal, hilangnya habitat orang utan. Pilihan kedua lebih menantang, dan justru menyimpan harapan jangka panjang. Di sinilah inisiatif seperti Orang Utan Coffee Project berperan. Proyek ini membeli kopi dari petani yang berkomitmen menjaga hutan, lalu menyalurkan keuntungannya untuk mendukung program rehabilitasi orang utan (Orang Utan Coffee, 2025).
Cerita dari pusat rehabilitasi orang utan juga layak didengar. Relawan di sana bekerja tanpa kenal lelah. Di sebuah klinik sederhana di pinggir hutan, dokter hewan memeriksa luka orang utan yang diselamatkan, membersihkan infeksi, dan memberi makan bayi yatim piatu dengan botol susu khusus. Malam hari, suara tangisan bayi orang utan sering terdengar. Relawan harus bersabar, menyusui, menidurkan, bahkan bermain seperti induk pengganti agar bayi itu tumbuh dengan rasa aman. Setiap orang utan yang pulih dan dilepasliarkan kembali ke hutan adalah kemenangan kecil, tapi sangat berarti.