Mata kuliah Peradaban Islam biasanya identik sama suasana serius, penuh catatan, dan kadang bikin ngantuk kalau udah masuk sesi sesi teori berat. Tapi hari itu, semuanya beda. Kita nggak duduk di kelas, nggak ada suara proyektor nyala, dan nggak ada suasana hening yang penuh tekanan. Yang ada justru angin laut, pasir putih, dan suara ombak yang jadi backsound kuliah paling santai sepanjang semester ini.
Kunjungan ini bagian dari agenda mata kuliah Peradaban Islam yang diampu oleh Dr. Mokhamad Mahfud, S. Sos. I, M. Si. Kita semua berangkat pagi pagi naik motor dari kampus ke Pantai Watulawang, Gunungkidul. Perjalanan ke sana udah jadi cerita sendiri. Konvoi motor bareng teman teman sekelas tuh rasanya seru, rame, kadang random, dan pastinya bikin lebih dekat satu sama lain. Ada yang nyasar dikit, ada yang motornya ngambek di tanjakan, tapi semua itu malah jadi bagian paling asik dari perjalanan.
Begitu sampai, kita langsung disambut suasana pantai yang adem dan tenang. Pantai Watulawang bukan tipe pantai yang terlalu rame wisatawan, jadi pas banget buat tempat belajar yang santai tapi tetap fokus. Kita ngumpul bareng di pasir, gelar alas seadanya, terus mulai "kuliah" dengan suasana yang jauh dari kata formal. Tapi justru karena itu, semua materi terasa lebih nyantol.
Pak Mahfud nggak ngasih kuliah dalam format ceramah panjang yang kaku. Beliau lebih banyak ngajak kita ngobrol soal nilai nilai peradaban Islam dan gimana hal hal itu sebenarnya masih relevan sampai sekarang. Misalnya, tentang bagaimana umat Islam zaman dulu menghargai ilmu pengetahuan, menjaga alam, dan hidup berdampingan dalam masyarakat multikultural. Disampaikan dengan bahasa yang ringan, sambil sesekali diselingi canda tawa, diskusi siang itu kerasa banget hangat dan bermakna.
Yang paling aku suka dari kegiatan ini adalah suasana belajarnya yang bebas tekanan. Nggak ada rasa takut buat nanya, nggak ada beban buat harus tampil sempurna. Semuanya ngalir aja. Kita dengerin, ngobrol, dan sesekali saling lempar pikiran atau pengalaman pribadi. Ini jauh lebih efektif daripada sekadar baca buku atau nyatet materi di kelas. Karena ketika tubuh dan pikiran kita rileks, justru ilmu jadi lebih gampang masuk.
Selain dapet insight tentang materi kuliah, yang paling kerasa dari kegiatan ini adalah kedekatan antar mahasiswa. Biasanya kita cuma kenal sebatas nama dan grup tugas, tapi pas di pantai, semuanya jadi lebih cair. Ngobrol random soal makanan, saling bantu buka bekal, sampai ketawa bareng gara gara ada yang kepleset di pasir hal hal kecil itu bikin hubungan kita makin kuat. Ada sesuatu yang nggak bisa dibangun di kelas, tapi justru muncul waktu kita keluar bareng kayak gini.
Dan aku juga ngeliat hal yang sama dari sisi dosen. Pak Mahfud kelihatan lebih santai, lebih bisa ngobrol lepas sama kita. Nggak cuma ngomongin mata kuliah, tapi juga cerita cerita kehidupan dan pengalaman beliau yang lain. Di situ kita ngerasa lebih dihargai, lebih dianggap sebagai partner belajar, bukan cuma murid yang nerima informasi satu arah.
Menurutku, model pembelajaran kayak gini harus sering sering diadain. Nggak cuma karena ini menyegarkan, tapi juga karena ini membuka ruang interaksi yang lebih sehat dan bermakna antara dosen dan mahasiswa. Apalagi buat matkul yang bahas soal nilai nilai dan sejarah besar kayak Peradaban Islam, konteks lingkungan alam bisa jadi penguat pesan yang disampaikan. Kita jadi bisa refleksi sambil merasakan langsung harmoni antara manusia dan ciptaan Tuhan.
Pulangnya, semua kelihatan capek tapi puas. Perjalanan naik motor yang tadinya kerasa jauh, jadi terasa singkat karena obrolan di jalan pulang masih penuh cerita dari pantai. Ada yang bilang, "Wah, semester depan harusnya ada lagi yang kayak gini!" Dan aku setuju banget. Karena pengalaman hari itu bukan cuma soal belajar materi kuliah, tapi juga soal mengenal orang lain, diri sendiri, dan dunia sekitar kita dengan cara yang lebih dalam dan santai.