perubahan zaman, sebuah paradoks menarik muncul. Semakin banyak kita terikat pada kebiasaan lama, semakin jauh kita tertinggal dari inovasi. Perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan krisis ekonomi menuntut solusi inovatif. Namun, seringkali kita terjebak dalam paradigma lama yang meredam kreativitas dan inovasi.
Di tengah derasnya arusEra digital telah membuka peluang tak terbatas untuk inovasi. Namun paradoksnya, juga menciptakan zona nyaman yang membatasi pemikiran kreatif. Media sosial misalnya, seringkali menjadi echo chamber yang menguatkan pandangan kita sendiri tanpa tantangan, mengurangi kesempatan untuk berpikir secara kritis dan inovatif. Di sisi lain, tantangan global seperti perubahan iklim membutuhkan solusi yang radikal dan inovatif, yang tidak bisa dicapai melalui cara-cara lama.
Untuk mencapai inovasi berkelanjutan, kita perlu membebaskan diri dari belenggu kebiasaan. Hal ini berarti berani mengambil risiko, berani gagal, dan yang terpenting, berani memikirkan solusi yang belum pernah ada sebelumnya. Pendidikan, sebagai salah satu pilar penting dalam masyarakat, harus bertransformasi menjadi lebih dinamis dan adaptif, mendorong kreativitas dan pemikiran kritis.
Kita juga perlu menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi, mulai dari kebijakan pemerintah yang mendukung riset dan pengembangan, hingga budaya perusahaan yang merayakan kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Kolaborasi lintas disiplin ilmu dan sektor juga menjadi kunci, mengingat kompleksitas masalah yang kita hadapi seringkali membutuhkan solusi yang holistik.
Menerjang arus kebiasaan menuju inovasi berkelanjutan bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, dengan keberanian untuk keluar dari zona nyaman, kreativitas untuk melihat dunia dari perspektif baru, dan kolaborasi tanpa batas, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, inovasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.