Mohon tunggu...
Anggit Pujie Widodo
Anggit Pujie Widodo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Atma

25 Februari 2024   16:10 Diperbarui: 25 Februari 2024   16:13 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rinai Air dari Atas

Buku lama itu sudah tersimpan rapih. Jejak masa lalu buruk kisah asmaranya sejatinya sudah ia letakkan di rak yang paling tinggi dan jauh. 

Ia kini harus menulis kembali kisah, kasih, harap dan gelap baru. Dekat dan dekat lah, jika memang bukan untuk lelaki itu, jauhkan sedini mungkin, dan harap gelap selalu menjadi penyejuk kala hati itu memerah. 

Atma tak bersahaja ..

Rinai air dari atas terjun bebas menghempas tanah. Pijakan anak manusia seketika basah, yang semuanya kering kerontang. Lelaki itu punya jiwa, namun tak sanggup ia gapai. Menghendaki kemauan sendiri saja tak bisa, lebih-lebih kehendak manusia lain. 

Bersama dalam sunyi adalah caranya mencocokkan perasaan. Sendiri sudah terlalu biasa, karena telah jadi kebiasaan. Dibawah langit gelap pukul 12.00 WIB, dalam hatinya bersanding kegelisahan. Hidup dalam gemerlap dunia, namun sepi jiwanya. 

Sinar matahari perlahan tertutup awan gelap. Siang itu ia sendiri, menyusuri setapak demi setapak jalan raya bersama sepeda motor kesayangannya. Tak ada tujuan, hanya untuk menyenangkan jiwa. Ari di atas semakin kencang menyusur ke tanah. 

Tubuh lelaki itu ikut basah perlahan, serupa dengan kisahnya yang robek pelan-pelan. Setengah tubuhnya mulai basah, berteduh lah sebisanya. Tak perlu nyaman, asal dapat membuatnya tenang sebentar. Sebentar, hanya sebentar. 

Semakin deras rinai, semakin kencang isi kepalanya berpikir .. 

Lelaki itu memarkirkan sepeda motor kesayangannya, lalu ia duduk bersila tanpa memperdulikan tempat yang ia duduki kotor atau bersih. Hal kecil yang tak pernah ia pedulikan, sama seperti apa yang ia lakukan sesaat setelah membukakan pintu untuk kenyamanan. 

Selorohnya dalam hati menyebut ia kejam, tampak ia sadar. Ia bukan buta asmara, tapi membutakannya. Ia yang kejam, menyebut dirinya memang tak pandai untuk mengukir kata indah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun