Mohon tunggu...
anggitavela
anggitavela Mohon Tunggu... Mahasiswa Doctoral Pasca Sarjana IAIN Metro

Dosen STIS Darusy Syafa'ah Lampung Tengah yang tengah menempuh pendidikan Doctoral Pasca Sarjana IAIN Metro pada Jurusan Ilmu Syariah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Sumber Hukum Formil dan Materiil

12 Oktober 2025   09:12 Diperbarui: 12 Oktober 2025   09:12 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bayangkan sebuah masyarakat tanpa hukum. Tidak ada aturan yang mengatur siapa yang boleh memiliki apa, bagaimana menyelesaikan sengketa, atau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Akibatnya, yang kuat akan menang, dan yang lemah akan tersingkir. Di sinilah hukum hadir bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi cermin dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun, dari manakah hukum itu berasal? Siapa yang membuatnya? Dan apa dasar kekuatannya?   

Inilah yang kita kenal sebagai sumber hukum fondasi utama yang melahirkan dan menggerakkan sistem hukum dalam suatu negara.

Apa Itu Sumber Hukum?

Secara sederhana, sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan, mempengaruhi, dan menjadi dasar berlakunya hukum. Ibarat pohon besar, sumber hukum adalah akar yang menyalurkan "nutrisi" pada batang dan cabang aturan yang kita gunakan setiap hari. Dalam literatur hukum, para ahli membedakan sumber hukum menjadi dua macam:

  • Sumber hukum formil yaitu tempat atau bentuk di mana hukum itu diwujudkan dan memiliki kekuatan mengikat.
  • Sumber hukum materiil yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi isi hukum,seperti nilai moral, adat, ekonomi, politik, dan sosial.

Perbedaan ini penting: sumber hukum formil menjawab "dari mana hukum itu berlaku secara sah", sedangkan sumber hukum materiil menjawab "mengapa hukum itu dibentuk dengan isi seperti itu."

Sumber Hukum Formil: Dari Mana Hukum Itu Datang

Sumber hukum formil adalah bentuk resmi tempat hukum ditemukan dan memiliki kekuatan mengikat. Di Indonesia (dan banyak negara lain), bentuk-bentuk sumber hukum formil meliputi: undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin.

Mari kita bahas satu per satu dengan contoh nyata agar lebih hidup.

  • Undang-Undang (Statute Law)

Undang-undang adalah sumber hukum tertulis yang paling utama. Di sinilah kehendak negara dituangkan dalam bentuk pasal-pasal yang mengikat seluruh warga. Menurut Hans Kelsen, undang-undang merupakan manifestasi dari norma hukum yang tertinggi setelah konstitusi, karena ia lahir dari lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional. Contohnya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi.

Namun, penting diingat bahwa undang-undang bukan sekadar teks kaku. Ia lahir dari dinamika sosial dan politik. Misalnya, perubahan pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara mencerminkan tuntutan reformasi dan semangat demokrasi yang hidup setelah tahun 1998.

  • Kebiasaan (Customary Law)

Sebelum ada hukum tertulis, masyarakat sudah hidup dengan kebiasaan yang ditaati bersama. Ketika kebiasaan itu diterima secara umum dan dipandang sebagai sesuatu yang wajib, maka ia berubah menjadi hukum. Inilah yang disebut hukum kebiasaan (adat law). Misalnya, dalam masyarakat adat Bali terdapat kebiasaan "menyame braya" semangat persaudaraan yang mengatur hak dan kewajiban antarwarga. Dalam hukum adat Jawa, dikenal pula sistem waris "gantian" atau "bagi rata", yang berbeda dengan hukum Islam. Kebiasaan menjadi sumber hukum ketika diakui oleh negara, seperti yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyebut bahwa "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup."

  • Yurisprudensi (Judicial Precedent)

Yurisprudensi adalah putusan hakim yang menjadi pedoman bagi kasus serupa di masa depan. Di Indonesia, meskipun sistem hukum kita menganut civil law, di mana peraturan tertulis menjadi utama, yurisprudensi tetap memiliki peran penting.

Contohnya, putusan Mahkamah Agung Nomor 179 K/Sip/1961 yang menyatakan bahwa "tanah garapan yang dikelola terus-menerus dengan itikad baik dapat menimbulkan hak milik." Putusan ini menjadi rujukan bagi banyak perkara pertanahan setelahnya.

Melalui yurisprudensi, hukum menjadi hidup dan adaptif, karena hakim dapat menyesuaikan putusannya dengan perkembangan zaman, meskipun undang-undangnya belum berubah.

  • Traktat (Treaty atau Perjanjian Internasional)

Traktat adalah perjanjian antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum bagi para pihak. Dalam konteks nasional, traktat bisa menjadi sumber hukum ketika disahkan dengan undang-undang.

Misalnya, Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Setelah diratifikasi, isinya menjadi bagian dari hukum nasional yang mengikat.

Traktat menggambarkan bahwa hukum tidak berdiri sendiri --- ia adalah hasil interaksi antarbangsa dan sarana menjaga keadilan global.

  • Doktrin (Legal Doctrine)

Doktrin adalah pendapat para ahli hukum yang dijadikan rujukan dalam pembentukan atau penerapan hukum. Misalnya, dalam menentukan tanggung jawab pidana, banyak hakim merujuk pada teori "daad-dader strafrecht" dari Van Hamel, atau ajaran pertanggungjawaban "mens rea" dari sistem Anglo-Saxon. Di Indonesia, pendapat tokoh seperti Prof. Sudikno Mertokusumo, Satjipto Rahardjo, dan Bagir Manan sering dijadikan rujukan dalam penelitian hukum maupun pertimbangan hakim. Doktrin bukan hukum positif, tetapi ia mempengaruhi arah dan pemahaman terhadap hukum positif.

Sumber Hukum Materiil: Dari Mana Isi Hukum Itu Terinspirasi

Jika sumber hukum formil adalah "wadah" atau bentuknya, maka sumber hukum materiil adalah isinya nilai-nilai dan kondisi yang mendorong lahirnya aturan. Menurut Van Apeldoorn, sumber hukum materiil adalah faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, agama, dan budaya yang mempengaruhi isi hukum.

Mari lihat beberapa contohnya dalam konteks Indonesia:

  • Nilai Moral dan Agama

Banyak hukum di Indonesia berakar pada nilai moral dan agama. Misalnya, larangan perzinaan dalam KUHP baru (Pasal 411 KUHP 2023) tidak semata-mata bersifat legalistik, melainkan juga bersumber dari nilai moral masyarakat yang religius. Demikian pula hukum perkawinan yang mensyaratkan keabsahan menurut agama masing-masing (Pasal 2 UU Perkawinan) sebuah bukti bahwa hukum nasional mencerminkan moralitas dan keyakinan masyarakat.

  • Kondisi Sosial dan Ekonomi

Hukum juga dibentuk untuk menjawab kebutuhan sosial dan ekonomi. Misalnya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir karena meningkatnya praktik perdagangan modern yang rawan penipuan. Sumber materiil dari hukum ini adalah tuntutan keadilan sosial agar masyarakat kecil tidak menjadi korban kesewenang-wenangan pelaku usaha besar.

  • Politik dan Kekuasaan

Tak dapat dipungkiri, hukum sering kali mencerminkan kehendak politik penguasa. Dalam sejarah Indonesia, misalnya, pada masa Orde Baru, banyak undang-undang dibuat untuk mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi pemerintah, bukan semata untuk keadilan rakyat. Di sinilah pentingnya politik hukum, agar arah pembentukan hukum tetap berpihak pada keadilan, bukan kepentingan elit.

  • Budaya dan Kebiasaan Masyarakat

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist). Dalam konteks Indonesia, hukum adat menjadi sumber materiil penting. Misalnya, sistem gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan tercermin dalam banyak peraturan dari tata kelola desa hingga hukum perkawinan. Satjipto Rahardjo menyebut, "Hukum bukan hanya teks, tetapi juga perilaku masyarakat yang hidup."

Hubungan Antara Sumber Formil dan Materiil

Sumber hukum formil dan materiil ibarat dua sisi mata uang. Sumber formil memberi bentuk yang pasti dan kekuatan mengikat, sementara sumber materiil memberi ruh dan arah moral bagi hukum tersebut.

Tanpa sumber materiil, hukum akan kering dan kehilangan makna sosial. Sebaliknya, tanpa sumber formil, nilai-nilai sosial tidak akan pernah punya kekuatan hukum yang jelas.

Contoh konkret dapat kita lihat pada UU Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT No. 23 Tahun 2004). Sumber formilnya adalah undang-undang, tetapi sumber materiilnya adalah nilai-nilai kesetaraan gender, keadilan, dan perlindungan kemanusiaan yang hidup di masyarakat.

Penutup: Menjadikan Hukum Lebih Manusiawi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun