Mohon tunggu...
Anggi Kristina Agustin
Anggi Kristina Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi(24107030147)

tulisan untuk menuangkan pemikiran dan perasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malam Satu Suro dalam Kejawen: Refleksi Diri dan Penyucian Batin

6 Mei 2025   20:56 Diperbarui: 6 Mei 2025   20:56 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kirab Peringatan Malam Satu Suro (Sumber: Kaltim.tribunnews.com)

Meski zaman telah berubah, semangat malam Satu Suro tetap hidup, terutama di daerah-daerah seperti Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya. Keraton Yogyakarta, misalnya rutin mengadakan kirab pusaka setiap malam satu Suro. Pusaka-pusaka milik keraton seperti keris, tombak, hingga gamelan, dibersihkan dan diarak keliling keraton.

Kirab ini bukan sekadar tontonan budaya, tetapi merupakan simbol pembersihan kepada leluhur. Ia mengingatkan bahwa pusaka mengandung nilai sejarah, spiritual, dan filosofi hidup yang harus dijaga dan diwariskan.

Tradisi malam Satu Suro mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mistis, bahkan tak masuk akal. Namun jika ditelaah lebih dalam, malam Satu Suro mengandung nilai-nilai etika dan spiritual yang kuat: kesederhanaan, introspeksi, dan keharmonisan hidup.

Di tengah arus globalisasi dan gaya hidup serba cepat, malam Satu Suro bisa menjadi "rem" spiritual. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan, dan merenung: ke mana arah hidup kita berjalan? Apa yang perlu diperbaiki dalam diri? Apa makna dari segala pencapaian yang selama ini kita kejar?

Tradisi Suro juga menjadi semacam "detoks spiritual", di mana masyarakat membersihkan diri dari energi negatif, memperkuat koneksi batin, dan merenungi perjalanan hidup.

Bagi generasi muda yang mungkin merasa jauh dari akar budaya Jawa, malam Satu Suro bisa menjadi pintu masuk untuk memahami filosofi hidup yang dalam dan menyentuh. Ini bukan tentang mempercayai hal mistis atau menjalani ritual ekstrem, melainkan tentang merayakan warisan makna hidup secara universal.

Malam Satu Suro, pada akhirnya, adalah ajakan untuk "pulang" bukan hanya secara fisik ke rumah atau kampung halaman, tetapi pulang ke dalam diri sendiri. Kembali mengenal siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita hendak melangkah.

Dalam keheningan malam Satu Suro, kita diajak untuk diam, bukan untuk pasif, tetapi untuk aktif mendengarkan bagian kita sendiri. Dalam diam, kita diajak menata niat, menyucikan hati, dan memulai kembali hidup dengan kesadaran baru.

Warisan budaya seperti malam satu Suro bukan untuk ditakuti atau dijauhi, tetapi untuk dipahami dan dimaknai. Karena dalam tradisi itu, tersimpan kebijaksanaan yang justru bisa menuntun kita melewati zaman yang penuh kebisingan ini, dengan hening, dengan sadar, dan dengan hati yang jernih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun