Malam Satu Suro dalam tradisi Kejawen bukan sekadar penanda tahun baru Jawa, tetapi momen spiritual yang sarat makna: penyucian diri, kontemplasi, dan harmoni dengan alam semesta. Masyarakat Jawa menyambutnya dengan suasana yang penuh khidmat, sakral, dan bermakna.
Satu Suro merupakan padanan dari tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Namun dalam konteks budaya Jawa, malam ini diartikan lebih dari sekadar momentum tahun baru. Malam ini dipandang sebagai waktu transisi energi alam yang sakral. Tradisi Kejawen memaknainya sebagai saat terbaik untuk "tirakat", menyucikan diri, dan mendekatkan batin pada Yang Maha Kuasa.
Untuk memahami kedalaman makna malam satu suro, kita perlu menengok sejenak sejarah kalender Jawa. Kalender Jawa adalah hasil sinkretisme antara budaya Hindu-Buddha, Islam, dan tradisi lokal Jawa kuno. Pada masa Sultan Agung dari Mataram (abad ke-17), sistem penanggalan Jawa diubah dengan menggabungkan sistem Saka dan Hijriah. Dari sinilah istilah "Suro" muncul, yang merupakan adaptasi lokal dari kata "Asyura" hari kesepuluh bulan Muharram
Banyak orang memilih berdiam diri di rumah, menyalakan lilin, berdoa, atau menjalani ritual seperti kungkum (berendam di sungai) hingga tapa bisu di tempat keramat.
Mengapa hening begitu dijunjung tinggi dalam malam Suro?
Di kalangan masyarakat umum, malam Suro identik dengan keheningan. Banyak warung tutup lebih awal, pesta ditiadakan, dan perjalanan ditunda, bukan karena takut, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap kesakralan malam ini.
Dalam filsafat Jawa, hening bukanlah kekosongan, tetapi ruang untuk mendengar. Dalam keheningan, manusia mendengar suara hati, suara alam, dan bahkan suara semesta. Hening adalah bentuk kesadaran tertinggi bahwa hidup bukan hanya tentang aktivitas luar, tetapi tentang keselarasan dalam diri.
Nilai-nilai seperti eling lan waspada (ingat dan waspada), ngeli tanpa keli (menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri), serta manunggaling kawula lan Gusti (penyatuan manusia dengan Tuhan), menjadi inti ajaran spiritual Jawa yang terefleksi kuat dalam suasana malam Suro.
Dalam ajaran Kejawen, hidup harus seimbang antara lahir dan batin. Malam Satu Suro adalah titik untuk "ngelingi", atau mengingat kembali perjalanan hidup, kesalahan masa lalu, dan mempersiapkan diri menghadapi masa depan.
Tirakat seperti puasa, meditasi, atau tapa bukan sekadar praktik mistik, tetapi bentuk latihan spiritual dan introspeksi diri. Dalam Kejawen, manusia dipandang sebagai makhluk spiritual yang harus menjaga keharmonisan dengan alam, leluhur, dan Tuhan.