Mohon tunggu...
Anggi Kristina Agustin
Anggi Kristina Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi(24107030147)

tulisan untuk menuangkan pemikiran dan perasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemilik TV Pertama di Dusun Anggrunggondok yang Menyatukan Warga Lewat Layar Kaca

19 April 2025   17:11 Diperbarui: 5 Mei 2025   11:06 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Mbah Nartowihardjo Sosok Inspiratif di Dusun Anggrunggondok (Sumber: Doc Pribadi)

Di balik sebuah nama, seringkali tersimpan sejuta cerita. Di balik ketegasan seseorang, kerap tersembunyi lautan kasih sayang. Itulah Mbah saya, Mbah Nartowihardjo sosok yang begitu dihormati Di Dusun Anggrunggondok pada masanya. Bagi Sebagian orang, beliau adalah pemimpin informal kampung. Bagi keluarga, beliau adalah ayah, guru, sekaligus pelindung. Bagi saya, beliau adalah legenda hidup yang warisannya tetap terasa hingga hari ini.

Banyak orang bilang, setiap kampung pasti punya tokoh sentral. Seseorang yang kehadirannya menandai zaman, menjadi penanda arah moral dan sosial masyarakat sekitarnya. Nah itulah Mbah saya. Setiap ucapannya dianggap hukum tak tertulis. Jika Mbah Narto sudsh berbicara, orang-orang mendengarkan. Jika beliau sudah memutuskan sesuatu, tak ada yang membantah. Tapi anehnya, rasa hormat itu tidak datang dari rasa takut, melainkan dari kekaguman yang mendalam.

Beliau dikenal sangat tegas. Cara beliau berbicara, cara berjalan, bahkan hanya dari cara memandangnya saja, orang bisa merasa segan. Tidak ada anak muda yang berani membantahnya. Tapi siapa sangka, di balik ketegasan itu, tersembunyi hati yang sangat lembut.

Salah satu momen paling bersejarah dalam perjalanan hidup beliau adalah saat beliau menjadi orang pertama yang memiliki televisi. Di masa itu, memiliki televisi adalah kemewahan yang luar biasa. TV kotak hitam putih, dengan layar cembung, di kotak yang bisa dibuka tutup. Benda itu bukan hanya barang elektronik, tetapi sebuah jendela dunia yang membuka cakrawala kampung kecil, serta keterbukaan terhadap dunia luar.

Setiap siang atau sore, orang-orang mulai berdatangan. Ada yang datang membawa cemilan ataupun kopi. Semuanya duduk rapi di halaman dan juga didalam rumah, menanti tayangan favorit: berita, sandiwara radio visual, atau wayang kulit. Tetapi lebahi dari acara-acaranya, yang paling bermakna adalah momen kebersamaan yang terbangun. Rumah Mbah Narto menjadi rumah bagi semua orang. Silaturahmi yang terjalin bukan hanya sekedar basa-basi, namun benar-benar menghangatkan hati.

Rumah Peninggalan Mbah Nartowihardjo (Sumber: Doc Pribadi)
Rumah Peninggalan Mbah Nartowihardjo (Sumber: Doc Pribadi)

Yang sangat membekas yaitu, Mbah Narto sealu membuka rumahnya tanpa pamrih. Tak pernah ada yang diminta bayar, tak pernah ada batasan siapa yang boleh datang. Semua orang diterima dengan tangan terbuka. Pintu terbuka lebar untuk semua orang. Bagi Mbah Narto, TV bukan miliknya sendiri, tapi itu milik kampung. Barang itu memang dibeli dengan uangnya sendiri, tapi niat sejak awal adalah untuk memberi manfaat bagi semua orang dan menciptakan momen untuk dikenang selama-lamanya.

Namun, di balik kebaikan hatinya, Mbah Narto juga dekenal sebagai orang tua yang sangat keras terhadap anak-anaknya. Aturannya tegas, didikannya disiplin. Tidak ada toleransi untuk kemalasan atau ketidaksopanan. Tata krama nomor satu. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Beliau percaya bahwa anak yang tangguh lahir dari tempaan hidup, bukan dari kemanjaan. Beliau tak segan-segan untuk memukul atau memarahi anaknya yang berbuat salah.

Dan benar saja anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kuat, mandiri, dan bermoral tinggi. Bukan karena mereka anak dari Mbah Narto, tapi karena mereka membawa nilai-niali luhur yang ditanamkan sejak kecil yaitu kerja keras, hormat pada orang tua, dan jangan pernah sombong.

Yang membuat cerita Mbah Narto semakin menarik, ternyata beliau pernah menjabat sebagai lurah di Dusun Anggrunggondok. Meski tak pernah membanggakan jabatan itu, sejarah mencatat Mbah Nartowihardjo sempat memimpin des aini secara resmi, meski hanya satu setengah tahun.

Katanya, mbah tidak terlalu menikmati posisi tersebut. Bukan karena tak mampu, teteapi karena dinamika politik yang pada saat itu terasa ruwet dan tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Beliau lebih nyaman menjadi pembimbing dan pelindung rakyat tanpa dibatasi birokrasi. Setelah mundur, beliau kembali menjadi "pemimpin tanpa jabatan" yang justru lebih dihormati oleh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun