Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guru

29 April 2018   11:41 Diperbarui: 29 April 2018   11:49 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CERPEN

Angin dengan liar menerobos jendela kereta kelas ekonomi yang melaju menembus malam. Suara mesin menderu-deru memekakkan telinga. Stasiun Balapan Solo mulai menjauh. Kereta dengan dua belas gerbong itu terus menyusuri rel menuju Jakarta.

Wajah Pardianto murung. Dua rekannya tampak bercerita dengan akrabnya. Pardianto memang kurang siap dengan perjalanan ini. Apalagi ini masih belum seratus hari istrinya meninggal. Diraba rambutnya yang mulai putih. Tangannya mulai berkerut. Hatinya galau.

Wajah kelima anaknya muncul bergantian. Ahmad anak sulung yang bisnis ayam potongnya kembang kempis karena krisis. Atau Ibrahim anak keduanya yang pengangguran, karena pabrik tempe tempatnya bekerja tutup. Menyusul, tiga anak perempuannya Mariam, Khadijah dan Aisyah juga mengayuh hidup penuh kesulitan.

Mereka memang tidak sempat menempuh pendidikan sarjana. Seorang yang hanya menempuh sekolah sampai SMA, tidak bisa memperoleh hidup yang layak. Karena ijasah SMA tak laku di pasar kerja, kecuali untuk kerja di pabrik sebagai buruh.

Kadang-kadang ada perasaan menyesal tak bisa menyekolahkan anak sampai sarjana. Bayangkan lima anak. Biaya untuk menghidupi mereka sudah besar. Tidak ada kelebihan untuk menyekolahkan mereka lebih tinggi. Meskipun sudah 25 tahun menjadi guru, kehidupan tidak berubah.

Sudah untung Nasiah istrinya mau membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya yang sumpek itu. Itupun selalu ditipu oleh para tetangga dengan cara berhutang, lalu tidak membayar. Modal pun habis. Ketika anak-anak mulai dewasa, Pardi melihat mereka ikhlas. Hanya satu niat ketika mereka satu persatu lahir, tidak akan membesarkan mereka dengan nafkah yang tidak halal.

"Lho Pak Pardi, sampeyam ini kok melamun terus," kata Agus sambil mencoleh pundak Pardi. Pardi menoleh ke arah rekannya sambil tersenyum.

"Ora kok, aku hanya teringat Nasiah," katanya.

"Sudahlah, istrimu sudah tenang di sana, ini kan kesempatan kamu melihat Jakarta, katanya kamu pengen melihat Jakarta," kata Hamid.

"Nasib kita ini kan selalu buntung, makanya kita harus demo," tambah Agus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun