Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Responsible Freedom Writer

Penikmat Kajian tentang Legal, Governance, Compliance, dan Risk | Bermukim di Dunia Instagram @wismapustaka

Selanjutnya

Tutup

Money

Risiko Terbesar: Mandek Peduli Risiko

14 Juli 2020   13:23 Diperbarui: 14 Juli 2020   13:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh Anggarian Andisetya

Manajemen risiko adalah salah satu studi yang kerap dipandang 'abstrak,' terlebih bagi kaum awam yang baru berjumpa dengan salah satu ujung tombak dalam business sustainability perusahaan. Selain pemahaman antara risiko dan masalah yang sering bias, risk assessment dan risk treatment juga menempati nominasi 'topik terhangat' dalam memperbincangkan manajemen risiko.

Akan tetapi, ada hal besar yang kadang kala luput ketika kita sibuk berbicara soal manajemen risiko, terutama soal kategorisasi risiko. Ketika muncul pertanyaan apakah kiranya risiko terbesar dalam bisnis kita, maka seringkali kita luput memperhatikan bahwa risiko paling besar dalam bisnis kita adalah risiko berhenti memberikan rasa peduli kita terhadap risiko.

Ancaman Mematikan

Tentu pendapat saya tersebut wajib diperdebatkan, terutama konsepsi kemandekan peduli terhadap risiko sebagai risiko atau justru masalah. Di dalam suatu sistem implementasi manajemen risiko yang sudah berjalan dan proses kulturisasi budaya sadar risiko sudah tumbuh, kemandekan untuk peduli terhadap risiko tentu menjadi risiko.

Berbeda halnya dengan organisasi yang 'buta' terhadap risiko atau manajemen risiko, kondisi tersebut menjadi masalah. Dalam kondisi pertama itulah uraian ini lahir.

Sebagai suatu sikap, apalagi pola pikir, acuh terhadap risiko adalah awal dari keterjadian suatu peristiwa risiko. Ibarat kata seorang penyelam, bagi mereka yang sadar risiko terbawa arus atau mengalami penurunan suhu tubuh secara mendadak akan mendorong pada serangkaian respon, baik pada tubuh maupun persepsi, yang mendorong seseorang tersebut mencegah risiko yang tidak diharapkan tersebut terjadi. 

Hal ini dikarenakan ada kesadaran apabila risiko tersebut terjadi, maka ada kerugian yang timbul, mulai dari mengalami luka sampai kehilangan nyawa. Ada damage costs yang timbul ketika risiko tersebut terjadi.

Pada orang-orang yang tidak peduli terhadap risiko, pertimbangan tersebut dinihilkan. Akibatnya muncul tindakan-tindakan yang kontraproduktif dalam perspektif manajemen risiko khususnya dan proses bisnis pada umumnya.

Sebutkan saja dalam industri pengolahan air, risiko kegagalan produk terjadi antara lain apabila terdapat ketidaksesuaian 'racikan' bahan baku produksi yang digunakan pada perangkat pengolahan air baku. 

Ketika person in charge abai atas risiko tersebut, terutama dengan alasan 'sudah terbiasa' atau 'biasanya tidak apa-apa,' maka skala keterjadian risiko meningkat. Ketika risiko terjadi dan air olahan menjadi tidak dapat digunakan alias menjadi produk gagal, maka ada cost yang harus ditanggung perusahaan atas kejadian tersebut.

Efeknya? Delivery kepada pelanggan jelas terganggu dan secara manajerial hal ini berpengaruh pada kinerja perusahaan, dalam hal ini key performance indikator direksi sebagai 'nahkoda' perusahaan.

Ketidakpedulian memiliki banyak bentuk. Sebut saja apatisme atau skeptisisme. Sebagai sebuah paham, apatisme lahir karena tidak adanya keselarasan antara apa yang diinginkan dan apa yang dijalankan. Dalam manajemen risiko, pemilik risiko tidak merasa membutuhkan tools dan work scheme dalam koridor manajemen risiko untuk memastikan process business di unitnya berjalan dengan baik.

Pada konteks ini, pemilik risiko berpendapat selama proses berjalan dan keluaran tersedia, untuk apa berpusing-pusing ria menyusun peta risiko dan tetek bengek mitigasinya? Sementara itu, skeptisisme melihat manajemen risiko semata-mata lapis-lapis penunda kegagalan yang suatu saat bakal terjadi.

Orang-orang skeptis melihat risk treatment seperti menunda tanggul jebol dengan bermacam-macam alternatif pintu irigasi yang sayangnya di mata mereka seperti menggunakan batang pisang untuk menyumbat aliran di pintu air. Pertanyaannya, bagaimana hal tersebut timbul?

Menelusur dan Menekur ke Akar 

Pepatah lama mengatakan tidak ada asap jika tidak ada api. Kondisi berhenti peduli terhadap risiko dalam suatu tatanan manajemen risiko yang mulai berjalan bisa disebabkan banyak hal. Ada berbagai celah potensial mengapa kondisi tersebut lahir.

Secara mikro, hal tersebut dimungkinkan antara lain tidak terbangunnya pemahaman individu atau kolektifitas dalam implementasi manajemen risiko pada setiap pemilik risiko atau termasuk kontribusi unit pemantau manajemen risiko yang kurang memberikan impresi terhadap respon yang timbul dari pemilik risiko, baik dalam konteks konsultasi, koordinasi, sampai dengan evaluasi.

Secara makro, ketidakpedulian terhadap risiko timbul karena efektivitas manajemen risiko itu sendiri. Terkadang menjadi ironi dalam suatu organisasi yang sebelumnya 'tidak kenal' manajemen risiko seluruh proses bisnis menjadi lancar. Akan tetapi, ketika manajemen risiko muncul, terjadi instabilitas. Ada gesekan-gesekan yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Pertanyaannya, dimana salahnya?

Perlu riset ilmiah untuk menemukan dan memahami bagaimana suatu sikap tidak peduli atas penerapan manajemen risiko bisa timbul pada organisasi yang telah menjalankan manajemen risiko. Dalam tingkat maturitas apapun, peluang dan penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. 

Beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi dapat bersifat internal maupun eksternal. Sebut saja dinamika organisasi yang mengharuskan pembaruan atas risk register hingga penetapan risk treatment yang menguras energi sampai dengan kebijakan top management yang berdampak langsung terhadap manajemen risiko maupun tidak langsung, semisal berkaitan dengan apresiasi dan sanksi.

Faktor eksternal antara lain business life-circle yang cenderung statis dan adem ayem cenderung menyeret pemilik risiko untuk business as usual dalam konteks manajemen risiko. Jika hanya dengan berdiri ketika tamu datang dan meminta mereka mengisi daftar tamu kinerja mereka sudah dikatakan selesai, mengapa repot-repot harus melakukan additional treatment ini itu untuk memastikan kita sebagai penerima tamu, misalnya. 

Dalam unit bisnis yang cenderung flat dan 'kurang dinamis' dapat mendorong terjadinya penyikapan yang dingin terhadap manajemen risiko. Bagaimana juga, seorang pembalap kemungkinan besar lebih sadar risiko mati di jalan dibandingkan seorang penulis artikel yang berkutat dua belas jam sehari di depan komputer, bukan?

Tentunya si penulis juga harus sadar ada tulang punggung yang berisiko bungkuk karena terlalu lama duduk. Semoga yang bersangkutan sadar. Atau... justru berhenti untuk 'sadar'?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun