[caption id="" align="alignnone" width="216" caption="sumber foto : https://www.keepcalm-o-matic.co.uk/p/keep-calm-and-jangan-berisik/"][/caption] "ssstttttt". Mungkin begitulah tulisan yang paling tepat untuk menggambarkan cara yang dilakukan seseorang dalam meminta orang lain untuk diam, untuk tidak berisik, atau untuk tenang. Bunyi ini sering saya dengar ketika saya di bangku sekolah. Saat sang guru meminta murid-muridnya untuk tenang, saat ada seorang teman yang terganggu oleh kebisingan saya, atau saat seorang teman memperingati saya karena terlalu berisik padahal saat itu ada guru di depan kelas atau saat ada guru yang hendak masuk kelas. Bunyi 'sssttttttt'' juga kerap terdengar di bangku kuliah dengan alasan yang kurang lebih sama seperti ketika sekolah. Dan Bunyi 'ssssstttttt' masih eksis hingga kini, saat saya sudah masuk ke dunia pekerjaan. Sejujur-jujurnya, saya luar biasa risih dengan bunyi ini. Bukan karena saya cerewet atau tidak bisa diam, tapi karena banyak orang yang menggunakan bunyi itu, tidak dalam waktu yang tepat. Hal yang paling sering saya temukan adalah ketika seorang teman, membunyikan 'sssstttt' karena saat itu ada sang bos. Mungkin menurut hematnya, jika ada bos maka suasana yang kondusif adalah yang tenang dan hening. Kenapa ya? Saya mencoba mengaitkan kebiasaan membunyikan 'ssssttttt' ini dengan kebiasaan yang terbentuk sejak bangku sekolah. Para pelajar dibiasakan untuk membuat suasana kelas yang hening dan sepi. Jika ada seorang guru, maka sikap yang baik adalah diam. Si murid pintar dan si murid penjilat akan sering membunyikan ini agar terlihat hebat dan protagonis. Ditambah dengan semboyan 'diam itu emas', maka jadilah para sarjana-sarjana yang menganggap diam dan tenang adalah kondusif dan para guru suka akan hal ini. Pada dunia kerja, sosok guru ini berubah menjadi bos. Jika ada bos, para sarjana akan berusaha diam dan setenang mungkin. Sungguh menjengkelkan sekali, ketika saya sedang berbicara atau ngobrol dengan teman yang lain, kemudian terdengar suara "sssssttttttt' ada bos". Ada yang pernah lihat bagaimana para sarjana itu ketika sedang rapat, berdiskusi, atau berbicara satu sama lain? Mereka berusaha untuk terus berbicara dan dominan. Seakan hanya mau berbicara tanpa mendengar yang lain. Saya rasa tidak terbesit sedikitpun dari mereka untuk mengucapkan 'sssstttt' saat itu. Anda lihat rapat DPR tentang BBM kemarin malam? Semua ingin berbicara, saling memotong pembicaraan satu sama lain, seperti tidak kenal aturan. Ya seperti itulah sarjana-sarjana kita yang sewaktu di bangku sekolah, terbiasa disuruh diam karena ada guru atau terdoktrin bahwa diam adalah kondusif. Para pelajar dan mahasiswa tidak diajarkan untuk diam dan menyimak ketika ada orang lain sedang berbicara. Ini buka cuma soal kesopanan, tapi menghormati hak orang lain untuk berbicara. Sebaliknya, para pelajar, mahasiswa, dan sarjana, akan diam jika ada guru, dosen, dan bosnya datang. Tetapi ketika sedang dalam kelompok diskusi atau perbincangan dengan temans, mereka berubah menjadi si pembicara yang tak mau mendengar pihak lain. Apesnya, jadilah sekarang kita sebagai manusia yang takut berbicara. Terlebih ditakut-takuti semboyan diam itu emas. Ditakut-takuti pengalaman jaman orde baru yang tidak bebas berbicara. Saat ini, jaman telah berubah. Bicaralah apapun yang kalian ingin bicarakan. Lebih baik bicara salah ketimbang diam. Jika anda diam, orang-orang tidak akan tahu anda salah atau benar. Tidak akan memperbaiki kesalahan anda atau mengikuti kebenaran anda. Jangan jadi sarjana yang takut berbicara dan berpendapat oleh karena khawatir ketidakkondusifan suasana jika bising. Jangan jadi sarjana yang takut bicara karena ada sang bos. Jadilah sarjana yang tahu, kapan waktunya bicara, dan kapan waktunya diam. Anda bisa belajar dari para call center agar bisa menjadi pendengar, penyimak, dan pembicara disaat yang tepat. Dan jangan gunakan lagi bunyi 'sssttttt' untuk kemunafikan dan menjilat atasan. @cekinggita
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI