Mohon tunggu...
Angga Munandar
Angga Munandar Mohon Tunggu... Advokat

Profession as an Advocate, has a passion for political developments, Education, health and most importantly cryptocurrencies which are currently and continue to develop

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pejabat Lupa Membaca, Bangsa Pun Kehilangan Cahaya

26 September 2025   08:51 Diperbarui: 26 September 2025   11:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buku adalah guru yang tak pernah letih berbicara, ia berbicara kepada hati yang mau mendengar, ia mengajarkan akal yang mau berpikir, dan ia menuntun jiwa yang mau mencari jalan pulang." -- Buya Hamka
(Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1, 1967)

Pemimpin dan Amanah Ilmu

Seorang pejabat bukanlah sekadar pemegang jabatan. Ia adalah penanggung jawab nasib rakyat, pengemban amanah yang kelak akan ditanya di hadapan Tuhan. Dan amanah itu tak mungkin dipikul dengan pundak kosong.

Buku hadir bukan sekadar sebagai bacaan, melainkan sebagai peta perjalanan. Pemimpin tanpa buku ibarat kapal tanpa kompas, terombang-ambing dalam gelombang zaman.

"Jika engkau ingin tahu masa depan sebuah bangsa, lihatlah apakah pemimpinnya dekat dengan buku atau justru dekat dengan pesta."
(Buya Hamka, Lembaga Budi, 1939)

Cermin Sejarah dalam Lembaran Buku

Dalam buku, sejarah berbicara. Ia berbisik dari halaman ke halaman: siapa yang pernah berjaya, siapa yang pernah jatuh, dan mengapa sebuah kerajaan bisa runtuh.

Bukankah kita telah membaca tentang jatuhnya Andalusia karena para pemimpin lebih sibuk dengan istana daripada perpustakaan?
(Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1937)

Bukankah kita telah melihat Abbasiyah terbakar di Baghdad, ketika ilmu dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan?
(Ibn al-Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, abad ke-13)

Dan bukankah kita mengenal Sultan Abdul Hamid II, yang bertahan dengan gagah karena membaca zaman lebih dalam daripada musuh-musuhnya?
(Lord Kinross, The Ottoman Centuries, 1977)

Sejarah itu adalah guru. Barangsiapa enggan belajar darinya, ia sedang menunggu giliran untuk mengulang kesalahan yang sama.

Buku, Sahabat yang Menghidupkan Hati

Buku bukanlah tumpukan kertas yang membosankan. Ia adalah teman setia di kala sunyi, penasihat bijak saat bimbang, dan penghibur ketika dunia terasa sempit.

Seorang pejabat yang membaca buku akan belajar tentang kehidupan rakyatnya melalui kisah-kisah sederhana. Dari puisi ia belajar kelembutan. Dari filsafat ia belajar berpikir jauh. Dari sejarah ia belajar kehati-hatian.

"Pemimpin tanpa buku, ibarat matahari tanpa cahaya; ia ada, tetapi dunia tetap gelap."
(Buya Hamka, Renungan Tasawuf, 1972)

Membaca sebagai Tanda Rendah Hati

Tak ada yang lebih indah daripada seorang pemimpin yang sudi belajar. Ia tidak merasa paling tahu, tidak merasa paling benar. Sebab setiap buku adalah jendela yang menunjukkan betapa luasnya dunia, betapa kecilnya diri.

Membaca adalah tanda kerendahan hati.
Membaca adalah pengakuan bahwa ilmu tak pernah cukup.

Membaca adalah jalan untuk menyadari bahwa jabatan hanyalah sementara, tetapi ilmu akan tinggal bersama nama kita.
(Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balaghah)


Darurat Baca Pejabat

Krisis terbesar bangsa ini bukan hanya soal ekonomi atau politik, melainkan krisis minat baca di kalangan pejabat. Banyak keputusan lahir tanpa landasan ilmu, kebijakan disusun lebih karena kepentingan sesaat daripada visi peradaban.

Inilah darurat kita: pejabat yang sibuk berbicara tetapi jarang membaca, rajin tampil di layar tetapi miskin gagasan, pandai membuat janji tetapi gagap menyusun strategi.

Bangsa yang dipimpin oleh pejabat yang lupa membaca akan kehilangan arah. Sebab kebijakan tanpa ilmu hanyalah taruhan nasib rakyat.
(Francis Bacon: "Reading maketh a full man, conference a ready man, and writing an exact man." -- Essays, 1625)

Dan sejarah telah berulang kali membuktikan: pemimpin yang buta literasi akan menjerumuskan bangsanya ke jurang gelap.
(Will Durant, The Story of Civilization, 1935--1975)

Jalan Pulang Bangsa kepada Kejayaan

Bangsa yang besar adalah bangsa yang pemimpinnya bersahabat dengan buku. Jepang bangkit karena membaca.
(Donald Keene, Dawn to the West: Japanese Literature in the Modern Era, 1984)

Eropa keluar dari kegelapan abad pertengahan karena membaca.
(Charles Homer Haskins, The Renaissance of the Twelfth Century, 1927)

Dunia Islam pernah memimpin peradaban karena cinta membaca.
(George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, 1981)

Maka jika pejabat kita ingin melihat Indonesia berdiri gagah di hadapan dunia, kuncinya sederhana: kembalilah kepada buku.

"Buku adalah cahaya, dan pemimpin yang membaca adalah lentera. Ia menyalakan harapan bagi rakyatnya, menjadi mercusuar di tengah samudera, agar kapal bangsa tak karam dalam gelap gulita."
(Buya Hamka, Tasawuf Modern, 1939)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun